Lampura, Bidikindonesia,- Petani di Desa Karya Sakti, Kecamatan Abung Surakarta, Kabupaten Lampung Utara (Lampura) menerima dua titik bantuan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI) dengan spesifikasi dan volume berbeda.
Program yang digulirkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) ini pada prinsipnya dikerjakan secara Swakelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sekitar, dengan maksud tujuan pemerintah agar dapat menumbuh kembangkan perekonomian masyarakat setempat.
Namun perihal itu nampaknya berbanding terbalik dengan realisasi pekerjaan P3TGAI di Desa Karya Sakti ini. Pasalnya, KSM pengelola program tersebut terkesan hanya dijadikan boneka alias tidak difungsikan.
Perihal itupun diakui oleh Sujak salah satu Ketua KSM tersebut ketika dijumpai awak media dikediamannya pada Sabtu, 10 Juni, 2023. Dia mengatakan jika Sutarman, Kepala Desanya seakan telah mengambil alih tugasnya sebagai Ketua pada program tersebut.
“Iya pokoknya semuanya sama pak Kades,” kilah Sujak pada wartawan dihadapan rekannya.
Lantaran Sutarman disebut memiliki kewenangan penuh atas pekerjaan itu, sehingga proyek tersebut berpotensi terjadinya penyelewengan anggaran yang dapat menimbulkan korupsi.
Tidak sebatas itu, ketika awak media menyambangi lokasi pencetakan beton precast, terlihat pengerjaan seakan tidak mengacu pada Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang ada. Pasalnya, beton yang diproduksi oleh para pekerja ini hanya bermodalkan spesivikasi volume luas ukuran, namun tidak disertai komposisi material yang dapat berpengaruh pada kekuatan beton precast tersebut.
”Pokoknya mereka ngasih gambar ukurannya aja. Ini adukannya manual juga, kalau pakai molen rugi kami, karena bayar sewanya perhari Rp150.000, belum minyak. Soalnya kita yang bayar (sewa molen), bukan ketua,” ujar Pardi, salah seorang pekerja pencetak precast.
Dia juga mengaku jika pekerjaan tersebut telah diborongkan kepadanya dengan harga persatuan precast. Lantaran merasa tidak bekerja secara upah harian, Pardi dan para rekan kerjanya itu menargetkan pencetakan rampung selama sepekan.
“Sekarang yang disini baru jadi 600 paping, Pokoknya yang disini seminggu harus selesai, karena kita ngejar waktu. Ini kami itungannya perbiji cetakan, kalau yang disini sebijinya Rp.3000, kira-kira semuanya jadi 5000 beton. Kalau yang di tempat pak Sukarjo (Ketua KSM titik lainnya) Rp.4000 perbiji, jadinya sekitar 3600 beton. Harganya beda ya karena besarnya beda,” katanya.
Padahal diketahui, pengerjaan Swaklola tersebut sepatutnya dikerjakan dengan metode pembayaran upah sesuai Harian Orang Kerja (HOK), sehingga pengerjaan mampu menghasilkan kualitas yang memadai sesuai spesifikasi, bukan justru diborongkan secara persatuan harga yang dapat berpotensi terjadinya asal jadi.
Selain itu pula, parahnya lagi pantauan wartawan dua titik pekerjaan P3TGAI yang telah sepekan lebih dikerjakan tersebut belum memasang pelang proyek sebagai sarana informasi, sehingga bertentangan pada Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Lantaran belum memasang pelang informasi, proyek irigasi itu seakan menjadi pekerjaan siluman lantaran tidak diketahui oleh masyarakat awam setempat terkait asal muasal, volume pekerjaan hingga jumlah dana yang akan terserap untuk bangunan itu.
Guna keberimbangan pemberitaan atas mencuatnya nama Sutarman Kepala Desa Karya Sakti yang diduga menjadi dalang dalam pekerjaan tersebut, awak media telah berupaya melakukan konfirmasi terhadapnya, namun sayang dirinya tidak dapat dijumpai maupun dihubungi fia telekomunikasi udara.
Padahal jika benar Sutarman merampas hak para Ketua KSM, maka dirinya berpotensi melanggar Pasal 17 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang penyalahgunaan wewenang sebagai Kepala Desa Karya Sakti.(*)