Penulis : Reky Pratama
Opini – ‘Maling Ngaku, Penjara Penuh‘, tidak asing lagi ungkapan ini terdengar di telinga pembaca bukan?. Sebuah kalimat yang mengartikan menutupi kebohongan lalu mencari pembenaran.
Kalimat perumpamaan itu kerap menjadi jurus andalan pejabat pemerintahan ketika dikonfirmasi wartawan yang melakukan wawancara terkait indikasi penyelewengan anggaran.
Bukan mencari-cari kesalahan!, tapi memang kontrol sosial sudah menjadi tugas sebagai wartawan, karena profesi ini bukan seperti Humas melainkan untuk sebuah pemberitaan.
Jelas sebagai wartawan mereka perlu mendapatkan penjelasan dari pejabat yang berwenang sebagai pengguna anggaran. Demi memenuhi kefalitan data serta unsur keberimbangan pemberitaan, sehingga sesuai dengan kaidah profesinya yaitu mengacu pada sebelas Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Biasanya, para oknum pejabat yang berbohong saat dimintai keterangan oleh wartawan dilakukannya agar kesalahan mereka tidak terbongkar, tapi itu hak pribadinya.
Meski diketahui pejabat itu memberi pernyataan yang tidak selaras dengan fakta yang ada, maka terkadang wartawan membiarkan saja dia berbicara semau-maunya. Karena nanti tugas jajaran terkait yang mengungkapnya seperti Inspektorat, bahkan Aparat Penegak Hukum (APH), dan publik pembaca yang menilainya. Karena bukan tugas wartawan untuk menghakimi alias menjastis.
Memang miris rasanya, jika orang-orang berpendidikan itu terjerat kasus tindak pidana korupsi, meski awal bersikeras tidak mengakui dan berujung di bui. Tapi itu sudah banyak contoh nyata di Indonesia ini.
Misalnya?, berawal dari sebuah dugaan penyelewengan anggaran yang diberitakan wartawan, saat itu sang oknum pejabat dengan lantang membantah dan berkilah mencari pembenaran.
Namun ketika diundang datang menghadap APH berangkat berbaju kemeja, ehh malah sampai disana diperiksa seketika berganti busana rompi orange bertulis tersangka.
Hukumannya pun tidak main-main, bisa bertahun-tahun menginap di penjara lamanya, dan sudah pasti terpisah sanak keluarga serta buah hati tercinta. Kalau sudah begini kasihan rasanya yaa?.
Padahal sebelum menikmati kursi jabatannya, oknum-oknum Koruptor ini sudah diambil sumpah jabatan yang diatas kepalanya terdapat kitab suci, sesuai agamanya masing-masing. Entah setan apa yang merasuki mereka, sampai tuhan saja dibohongi apalagi manusia?.
Dikutip dari laman, pada hadist Ubadah bin ash Shamit, Rasullah bersabda,“Sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya,”tulis artikel yang disertai gambar ilustrasi seramnya neraka.
Dengan terbitnya cerita tulisan tidak seberapa ini, tidak banyak tujuan penulis, semoga dapat menjadikan pengingat para pejabat di Indonesia terkhusus di Kabupaten Tulangbawang Barat agar terhindar dari Korupsi.
Karena sesama Manusia sudah sewajarnya saling mengingatkan demi terhindar dari ‘penjara juga panasnya api neraka’.