Banda Aceh | Bidik Indonesia – Dinas Pendidikan Aceh menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) sebagai bagian dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dan Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Aceh Tahun 2025–2029. Kegiatan yang berlangsung pada Jumat (16/5) di Ruang Oproom Dinas Pendidikan Aceh ini dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan, Marthunis, S.T., D.E.A., dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari unsur akademisi, pakar pendidikan, hingga organisasi masyarakat sipil.
FGD ini bertujuan menghimpun masukan substantif dalam merancang arah kebijakan pendidikan Aceh untuk lima tahun ke depan. Salah satu isu utama yang mencuat dalam diskusi adalah pentingnya mewujudkan pendidikan yang inklusif, adil, dan relevan terhadap tantangan zaman. Dalam forum ini, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Ar-Raniry memberikan kontribusi penting, khususnya dalam mendorong agar penyusunan Renstra lebih responsif terhadap persoalan ketimpangan sosial dan gender.
Kepala PSGA, Dr. Nashriyah, menegaskan bahwa pembangunan pendidikan yang berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari isu kesetaraan.
“Pendidikan yang berkeadilan harus menghapuskan ketimpangan akses, menghilangkan stereotip gender, dan menciptakan ruang yang aman bagi semua, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Ia menyoroti masih adanya ketimpangan akses pendidikan bagi anak perempuan, stereotip gender dalam kurikulum, serta minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan pendidikan. Selain itu, Dr. Nashriyah mengangkat persoalan kekerasan berbasis gender yang masih kerap terjadi di lingkungan sekolah dan kurangnya data terpilah berdasarkan gender sebagai hambatan dalam perumusan kebijakan yang adil dan efektif.
Dalam konteks penyusunan Renstra, PSGA mendorong agar pendidikan Aceh ke depan mencakup langkah-langkah konkret seperti pengembangan kurikulum yang responsif gender dan bebas stereotip, penyediaan data terpilah berbasis gender, serta pembentukan kelompok mentoring bagi siswi untuk mendukung minat mereka, termasuk di bidang STEM yang selama ini didominasi laki-laki.
“Kita perlu mendorong lebih banyak perempuan untuk percaya diri menekuni bidang-bidang seperti sains dan teknologi,” katanya.
Dr. Nashriyah juga menekankan pentingnya pakta integritas bagi calon guru dan kepala sekolah untuk mencegah kekerasan seksual, serta penyediaan fasilitas pendidikan yang ramah gender dan inklusif bagi penyandang disabilitas.
Selain fokus pada isu gender, PSGA juga menyoroti pentingnya penguatan nilai-nilai budaya lokal dalam pendidikan. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap menurunnya penggunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda.
“Bahasa daerah adalah identitas. Kita kehilangan jati diri jika tidak ada intervensi nyata dalam pelestariannya,” tegasnya.
Ia menyarankan agar Renstra memuat program revitalisasi bahasa lokal, serta penguatan identitas budaya melalui perayaan hari-hari bersejarah seperti Hari Cut Nyak Dhien. “Anak-anak Aceh perlu merasa bangga dengan sejarah dan budaya mereka sendiri. Pendidikan adalah kunci untuk itu,” tambahnya.
Kehadiran PSGA dalam FGD ini menjadi warna penting yang memperkaya proses penyusunan Renstra. Perspektif yang mereka bawa mempertegas bahwa pendidikan harus berpihak pada semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Dengan mengakomodasi isu gender dan kearifan lokal secara lebih serius, Renstra Pendidikan Aceh 2025–2029 diharapkan mampu menciptakan sistem pendidikan yang lebih berkeadilan, aman, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Aceh masa kini dan mendatang.[mia]