Aceh Besar|BidikIndonesia.com – Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memasuki babak baru dalam tarik-menarik penyusunan anggaran. Menjelang batas akhir pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) 2026, dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) belum juga sampai ke meja DPRK. Situasi ini membuat tahun anggaran mendatang diprediksi menjadi yang paling ketat dalam beberapa tahun terakhir—baik dari aspek waktu, maupun kondisi fiskal daerah.
Ketua DPRK Aceh Besar, Abdul Muchti, didampingi dua wakilnya, Naisabur dan Muchsin, menyebut pihaknya telah tiga kali menyurati eksekutif untuk menanyakan keberadaan KUA-PPAS. Namun hingga Rabu, 12 November 2025, tak ada balasan.
“Kami tegaskan, legislatif tidak pernah menunda pembahasan APBK. Tapi sampai hari ini, dokumen KUA-PPAS belum kami terima,” kata Muchti, Kamis, 13 November 2025.
Menurut Muchti, DPRK siap membahas anggaran kapan pun, tetapi waktu yang tersisa hampir mustahil mengejar tenggat penyelesaian APBK—apalagi sebagian anggota dewan telah memasuki masa reses. Jika pembahasan melampaui batas waktu, konsekuensinya sangat serius: predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terancam hilang, pembayaran gaji kepala daerah dan pejabat berpotensi tertunda, serta Aceh Besar hampir pasti tidak memperoleh Dana Insentif Fiskal tahun depan.
“Risikonya besar. Ini bukan hanya soal administratif, tapi menyangkut jalannya pemerintahan,” ujar Muchti.
Dana Insentif Fiskal, yang diberikan pemerintah pusat sebagai penghargaan atas kinerja pengelolaan keuangan dan pelayanan publik, nilainya tidak kecil. Kehilangan dana tersebut akan mempersempit ruang gerak fiskal daerah pada tahun yang sudah diprediksi berat.
Di sisi eksekutif, penjelasan baru muncul dari Kepala Bappeda Aceh Besar, Rahmawati. Ia menyebut keterlambatan KUA-PPAS disebabkan perubahan mendasar dalam mekanisme pengusulan anggaran. Tahun pertama pemerintahan Bupati Muharram Idris—didampingi Wakil Bupati Syukri A. Jalil—membawa sejumlah penyesuaian strategis: penyelarasan RPJM dan Renstra, detailisasi alokasi anggaran, serta larangan memasukkan program secara “gelondongan”.
“Kami menyesuaikan dengan regulasi baru. Tahun ini semua harus rinci. Alhamdulillah, RKPD sudah selesai dan diserahkan ke BPKD untuk difinalkan menjadi KUA-PPAS,” kata Rahmawati. Ia juga menyebut perubahan sistem dari SIPG menuju SIPD RI yang turut memakan waktu.
Rahmawati menargetkan KUA-PPAS dapat diserahkan ke DPRK pada Senin, 17 November 2025, asalkan proses telaah di BPKD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah berjalan lancar.
Efisiensi Total
Di luar persoalan dokumen yang mandek, APBK 2026 sendiri memang tidak berada dalam kondisi ideal. Sejumlah sumber internal pemerintahan menyebut anggaran tahun depan akan menjadi salah satu yang paling sulit disusun. Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD), kebijakan pemerataan dana Rp 1 miliar per kecamatan, serta distribusi minimal Rp 6,5 miliar untuk enam dapil, menempatkan Aceh Besar pada posisi defisit sekitar Rp 25 miliar.
Defisit itu direncanakan ditutup dengan Silpa 2025, yang disebut-sebut bisa melampaui Rp 25 miliar—bahkan diperkirakan mencapai angka Rp 100 miliar karena banyak proyek berpotensi tak selesai pada akhir tahun. Silpa Aceh Besar memang relatif besar beberapa tahun terakhir: Rp 70 miliar pada 2023 dan Rp 77 miliar pada 2024.
Namun konsekuensinya, berbagai OPD hanya akan mengelola anggaran rutin semata: gaji, belanja administrasi, dan biaya dasar organisasi. Dana Pokok Pikiran DPRK juga dipangkas sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya.
Bupati Muharram: “Setiap Rupiah Harus Terukur”
Bupati Aceh Besar, Muharram Idris—atau Syech Muharram—menanggapi polemik keterlambatan KUA-PPAS dengan menekankan perlunya sinergi antara eksekutif dan legislatif. Ia menolak anggapan hubungan kedua lembaga retak. “Hubungan kami dengan legislatif baik-baik saja. Kami saling memahami dan saling mengisi,” ujarnya, Jumat malam, 14 November 2025.
Muharram menegaskan penyusunan anggaran tahun ini benar-benar harus presisi. “Tak ada lagi model copy paste. Setiap rupiah harus menjawab kebutuhan riil masyarakat Aceh Besar,” katanya. Ia menyebut beban anggaran meningkat, di antaranya untuk kebutuhan pegawai P3K dan R4, sehingga data pegawai tiap OPD diminta lengkap dan akurat.
Pemkab memutuskan melakukan penghematan besar-besaran: pemotongan TPP pegawai dari 14 menjadi 12 bulan, pengurangan SPPD, serta rasionalisasi belanja makan-minum. Efisiensi ini, kata Muharram, terjadi di hampir semua daerah di Indonesia. “Semua harus ikat pinggang.”
Pada saat yang sama, ia memastikan asas pemerataan tetap dijaga. Dana Rp 1 miliar untuk setiap kecamatan serta Rp 1 miliar per dapil akan difokuskan pada program ketahanan pangan: jalan usaha tani, sumur bor, dan irigasi. “Kami tidak bicara siapa menang atau kalah Pilkada. Ini soal pemerataan pembangunan, termasuk untuk Pulo Aceh,” tegasnya.
Muharram mengakui banyak usulan pembangunan tidak bisa diakomodasi karena keterbatasan anggaran. Pemangkasan juga menyasar dana Pokir yang kini rata-rata hanya sekitar Rp 700 juta per anggota DPRK. Ia menegaskan dana Pokir tidak boleh digunakan untuk SPPD atau publikasi, karena pos anggaran publikasi sudah disediakan di Sekretariat DPRK.
Dengan batas akhir pengesahan APBK pada 31 November 2025, pertanyaan krusialnya kini hanya satu: akankah KUA-PPAS benar-benar diserahkan sebelum tenggat? Jika tidak, Aceh Besar menghadapi risiko efek domino—dari hilangnya insentif fiskal hingga terhambatnya belanja wajib.
Sementara itu, DPRK dan publik Aceh Besar menunggu. Tahun anggaran 2026 bukan hanya soal angka, melainkan ujian kedisiplinan fiskal, komunikasi politik, dan kemampuan pemerintah daerah merespons tekanan keuangan secara cepat dan transparan.
Di tengah anggaran yang makin ramping, satu hal kini menjadi kunci: apakah eksekutif dan legislatif mampu bergerak dalam satu tarikan napas untuk memastikan Aceh Besar tidak melangkah ke tahun baru tanpa APBK? []
