Banda Aceh|BidikIndonesia.com – Pentingnya partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam mengawal tata kelola sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba) di Aceh.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA), M. Nur, SH dalam siaran pers pada Selasa (27/05/2025) di Banda Aceh.
Menurutnya, pengawasan ini harus dilandasi kepentingan jangka panjang ekonomi, sosial, dan lingkungan, bukan sekadar kepentingan sesaat dari kelompok tertentu.
Salah satu kasus yang disorot adalah tambang emas PT. Magellanic Garuda Kencana yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) sejak tahun 2012 untuk lahan seluas 3.250 hektare di Kabupaten Aceh Barat
Namun, pada 2022, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI sempat mencabut delapan izin tambang di Aceh, termasuk milik PT. Magellanic Garuda Kencana.
Menanggapi hal ini, Pemerintah Aceh menyurati Menteri Investasi/Kepala BKPM RI dengan menegaskan bahwa pengelolaan Minerba di Aceh merupakan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam kekhususan Aceh.
Pemerintah Aceh menyimpulkan pencabutan izin oleh pusat tidak sesuai dengan kewenangan tersebut.
“Langkah ini menunjukkan komitmen Pemerintah Aceh dalam mempertahankan kekhususan daerah di sektor Minerba,” kata M. Nur.
Ia menambahkan, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya perbaikan tata kelola, termasuk evaluasi faktual dan pemberian surat peringatan kepada perusahaan untuk segera memenuhi kewajibannya.
Menurut M. Nur, Pemerintah Aceh sudah berada di jalur yang tepat dalam menciptakan iklim investasi yang sehat.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar publik memberi ruang dan waktu kepada perusahaan untuk memperbaiki tata kelola, baik dari sisi administrasi maupun aspek substansial lainnya.
Ia juga mengingatkan agar narasi negatif yang bisa memicu kegaduhan di masyarakat dihindari.
Terkait dengan temuan aktivitas penambangan emas ilegal di wilayah IUP PT. Magellanic Garuda Kencana, M. Nur menjelaskan bahwa kondisi serupa juga terjadi di wilayah tambang lainnya di Aceh.
Ia menyebutkan bahwa belum adanya regulasi khusus untuk pertambangan rakyat menjadi penyebab utama.
Sebagai solusi, Pemerintah Aceh kini tengah merancang qanun pertambangan rakyat agar masyarakat bisa memiliki dasar hukum untuk mengajukan izin resmi.
Ia juga menekankan bahwa penetapan status legal atau ilegal suatu aktivitas tambang adalah wewenang pemerintah dan aparat penegak hukum, bukan pihak lain yang tidak berwenang.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa apabila ada pemegang izin yang tidak kooperatif terhadap upaya perbaikan tata kelola, maka pemerintah harus bertindak tegas dengan mencabut izin tersebut.
“Ini berlaku untuk semua perusahaan, termasuk PT. Magellanic Garuda Kencana,” ujar mantan Direktur Walhi Aceh.
Di akhir pernyataannya, M. Nur mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mengawal proses perbaikan tata kelola pertambangan di Aceh.
Ia juga meminta perusahaan agar bersikap terbuka demi terciptanya komunikasi yang konstruktif dengan semua pihak.