BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Khairul Amri Ismail, S.H., M.H / Mahasiswa Doktor Filsafat UNISSA Brunei Darussalam “Menang dalam persaingan bukan berarti yang terbaik, tetapi baik dalam persaingan adalah kemenangan yang abadi”
“Demos(Advertising)” Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang mendapat keistimewaan dalam hal politik, maksudnya hanya Aceh yang dibenarkan mendirikan partai lokal (Local Political Party) di antara banyak provinsi di Indonesia. Salah satu perubahan yang cukup mendasar pasca perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 silam adalah persaingan politik yang semakin meningkat dan sengit di Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam dunia politik, persaingan adalah segala sesuatu yang wajar dan alamiah, dimana setiap institusi maupun aktor politik dituntut untuk menerima normalnya persaingan di dalam dunia politik. Dalam iklim demokrasi, persaingan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem demokrasi menjadi sistem otoriter dan absolut yang tertumpu pada suatu kebenaran tunggal yang tidak dapat diganggu gugat, sementara sistem politik dalam negara demokrasi memiliki labih banyak seni dalam melahirkan solusi.
“Persaingan Antara Partai” Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 518 Tahun 2022, bahwa Partai Politik (parpol) yang menjadi peserta pemilu Nasional pada tahun 2024 ini adalah 17 parpol nasional dan 6 parpol lokal. Dalam hal ini, masyarakat Aceh khususnya akan dihadapkan dengan 23 parpol pada pemilu 2024 ini, sementara provinsi lain hanya 17 parpol.
Khususnya untuk DPR tingkat kabupaten/kota dan provinsi Aceh, dipastikan pertarungan 23 parpol tersebut sangatlah sangit, terlebih semua pengurus partai nasional yang ada di Aceh adalah orang Aceh itu sendiri. Justru ini akan membuat masyarakat Aceh merasa dilema. Namun demikian, persaingan (munafasah) antar parpol adalah suatu hal yang wajar karena adanya perselisihan dan perbedaan kebutuhan, nilai dan kepentingan.
Dalam masalah persaingan parpol di Aceh, sekurang-kurangnya akan mengalami dua akibat utama, yaitu: (1) Berkurangnya pemilih terhadap partai lokal atau sebaliknya, bahkan kemungkinan besar partai lokal akan mengalami kemunduran apabila tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyat Aceh itu sendiri. (2) Suara pemilih di Aceh akan terpecah kepada 23 partai. Ini akan menyebabkan tidak tercapainya target suara yang diharapkan oleh calon legislatif di Aceh.
Selaku putra Aceh, justru saya sangat berharap bahwa masyarakat senantiasa berkomitment untuk memajukan partai lokal yang telah dianugrahkan untuk rakyat Aceh dan telah menjadi satu keistimewaan khusus dalam hal politik di Indonesia. Coba bayangkan betapa inginnya provinsi-provinsi lain untuk diberikan keistimewaan ini. Akankah masyarakat Aceh membuang keistimewaan tersebut.
“Persaingan Antara Calon Legislatif” Jika dilihat pada jumlah parpol yang telah ditetapkan dalam pemilu 2024 ini, maka jumlah calon legislatif (caleg) justru sangat banyak, di sini mereka tidak hanya bersaing dengan caleg antar parpol tetapi juga bertarung dan bersaing dengan sesama anggota parpol dalam meraih suara rakyat pada wilayah yang sama.
Fakta tersebut justru lebih rentan memicu terjadinya sikap persaingan yang bersifat negatif seperti sogok menyogok dan fitnah dalam kalangan caleg di Aceh. Selain itu, dipastikan banyak caleg yang tidak akan mendapat kursi dalam pemilu 2024 ini, karena suara akan terpecah begitu banyak sehingga caleg tidak mencapai jumlah suara yang ditargetkan sebagai syarat menuju parlemen.
Sebagai pencinta politik, saya justru sangat berharap bahwa politik di Aceh berjalan setabil dan sesuai dengan konsep politik Islam, yaitu persaingan politik yang sehat dan jauh dari saling memfitnah dan bersih dari politik uang (money politic). Karena politik yang tidak sehat akan menghasilkan kebijakan yang tidak sehat pula, bahkan inilah penyebab utama tidak berkembangnya pembangunan Aceh selama ini.
Perlu di ingat, bahwa politik adalah perjuangan yang baik karena di dalamnya ada pertarungan ide, pergolakan gagasan dan menjadi arah penentu nasib jutaan manusia hari ini dan masa depan. Politik itu adalah seni memainkan irama dan membaca situasi sosial. Politik itu melekat dalam semua aspek kehidupan karena pada dasarnya manusia itu berpolitik. Maka jangan sampai persaingan ini akan merusak etika politik dan moral rakyat Aceh yang senantiasa hidup berdampingan dengan para ulama.
“Eksistensi Ulama dalam Dunia Politik” Ulama merupakan figur yang memiliki peranan sentral dalam masyarakat. Ia menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, mulai persoalan agama, sosial, politik, ekonomi hingga persoalan budaya. Oleh karena itu, ulama tidak hanya berposisi sebagai pemegang pesantren, tetapi juga melakukan transformasi kepada masyarakat, baik menyangkut masalah interpretasi agama, cara hidup berdasarkan rujukan agama, memberi bukti konkrit agenda perubahan sosial, melakukan perdampingan ekonomi, maupun politik dalam pengertian luas.
Kererlibatan ulama dalam politik merupakan bentuk partisipasi dalam membangun keseimbangan hidup masyarakat negara yang sejahtera. Untuk melaksanakan peranan ulama dalam politik, para ulama selalu berusaha merumuskan formula politik yang tidak merusak ikatan sosial keagamaan dan kemasyarakatan.
Namun demikian, kehadiran ulama dalam dunia politik di Aceh menjadi isu hangat baru-baru ini. Betapa tidak, hasil Ijtima’ Ulama Aceh dalam Silaturahmi Ulama Aceh (SUA) pada 10 November 2021 lalu merekomendasikan untuk mendirikan partai politik yang bertujuan mengakomodasi kemaslahatan agama, umat, dan masyarakat Aceh.
Dalam hal ini, kebanyakan ulama Aceh sepakat menarik diri dari partai lokal yang selama ini mereka dukung. Dengan berbagai alasan politik, seperti kebijakan politik di Aceh yang selama ini sudah bergeser dari konsep syariat Islam, sehingga ulama Aceh mengambil kebijakan mendirikan Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS ACEH) pada 2021 dan menjadi parpol termuda. Partai ini memiliki basis ideologi Islam yang di deklarasikan pada 22 Februari 2023 tahun lalu.
Sebagian masyarakat Aceh tidak setuju terhadap keterlibatan langsung para ulama dalam partai politik, kerana mereka menganggap bahwa politik itu kotor dan banyak kemaksiatan. Justru pemikiran tersebut sangat tidak matang, karena hakikatnya politik adalah suci dengan tujuan untuk menciptakan kebenaran dalam mengelola negara.
Jika memang ulama tidak layak masuk ke dalam dunia politik, maka siapakah yang lebih layak mengendalikan politik, sementara selama ini ulama selalu dirangkul untuk mencapai kemenangan dalam persaingan politik. Justru ini menunjukkan bahwa politik itu adalah baik dan kehadiran ulama dalam politik adalah jalan untuk mengendalikan agar politik dan kebijakannya tidak bergeser pada keburukan.[Infoacehtimur]