Dinamika warung kopi sebagai ajang silahturahmi dan bertukar informasi

Dinamika warung kopi sebagai ajang silahturahmi dan bertukar informasi

Bidik Indonesia.com. Banda Aceh. Bertepatan di Hermes Palace Hotel, Sabtu (12/8/2023) malam telah berlangsung kegiatan kerja sama bekerjasama dengan DPP ISAD dan HIPSI yang menghasilkan beberapa poin ringkasan dari berbagai pemateri seperti Pemateri Pertama Dr. H. Agam Syarifuddin, MA (Ulama yang juga Praktisi Warung Kopi) menyebutkan terkait Surat Edaran (SE) Pj Gubernur Aceh, sangat sepakat karena menyangkut penguatan Syariat Islam di Aceh. Bagi masyarakat Aceh Syariat Islam tidak ada tawar menawar.

Harus dilaksanakan apalagi sudah diundangkan dalam bentuk Undang-Undang dan Qanun.

Dari dulu, kedai kopi di Aceh sudah dipahami sebagai ajang ajang sosial (silaturrahmi). Menjadi simbol budaya dan ekonomi. Kedai kopi itu sebuah bentuk kehidupan di masyarakat Aceh, dan menjadi pusat silaturrahmi dan informasi, karena banyak hal yang dibahas saat meminum kopi.

Dalam hal penerapan Syariat Islam, mestinya Pemerintah Aceh dalam hal ini Pj Gubernur Aceh menjalankan aturan yang sudah ada terkait penerapan Syariat Islam, dengan memaksimal instansi terkait yang ada.

Pemerintah Aceh mestinya meningkatkan perannya dalam mengedukasi masyarakat agar mau menjalankan syariatnya (Syariat Islam), bukan malah mengkambing hitamkan warung kopi.

Bacaan Lainnya

Selanjutnya Prof. Dr. H. Mujuburrahman, M.Ag yang juga Rektor UIN Ar-Raniry menyebutkan terkait warung kopi, kenapa harus ditutup di atas jam 12 malam, karena menurut saya ada beberapa hal yang mendasar.

Pasca tsunami realitas yang terjadi adalah generasi muda mudi Aceh banyak yang nongkrong di warung secara bersama tanpa ada rasa malu hingga larut malam.

Padahal dulu duduk bersamaan (muda-mudi) di Aceh merupakan hal yang tabu. Pranata sosial ini menurut saya harus dibenahi. Nongkrong hingga larut malam juga bermasalah terhadap aspek keagamaan dan kesehatan.

Pulang larut malam otomatis tidurnya telah dan bangunnya pun akan telah, sehingga shalat subuh terlewatkan. Mereka akan menjadikan waktu pagi untuk tidur, padahal pagi adalah waktu yang efektif untuk belajar dan mencari rezeki (bekerja).

Bila ini terus menerus yang terjadi dikalangan masyarakat Aceh khususnya kalangan muda maka akan berpengaruh terhadap masa depan Aceh kedepannya. Bergadang hingga larut malam juga berefek buruk terhadap kesehatan.

Kemudian juga bisa dicek, warkop yang buka sampai jam 12 malam dengan warkop yang buka hingga pukul 5 pagi, pendapatannya juga tidak jauh berbeda. Artinya Dari aspek ekonomi, ini tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor perekonomian masyarakat Aceh. Bisa dilihat orang-orang yang datang untuk minum kopi umumnya sampai pukul 11, namun waktu nongkrongnya yang lama hingga menjelang pagi.

Selanjutnya Tgk. Mustafa Husen Woyla (Ketua Umum DPP ISAD Aceh) menambahkan Terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh sebenarnya sudah ada aturan yang kuat, tinggal penerapannya yang perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan semua instrumen yang ada. Secara hukum SE ini tidak kuat dalam penguatan Syariat Islam di Aceh dibandingkan dengan Pergub apalagi Qanun.

Tapi alhamdulillah kita sangat mengapresiasi adanya beberapa kepala daerah tingkat kabupaten/kota yang langsung meresponnya. Seperti Wali Kota Banda Aceh yang menyambutnya dengan baik dan langsung menindaklanjuti Surat Edaran Pj Gubernur.

Kita sangat mendukung SE Pj Gubernur Aceh ini dalam upaya meningkatkan Penerapan Syariat Islam. Tidak ada masalah dengan SE ini, hanya saja ada satu poin yang menjadi pro kontra yaitu tentang penutupan warung kopi di atas pukul 12 malam.

Sebenarnya ini juga baik jika dilihat dari aspek sosial dan kesehatan. Kalau ada yang mempersoalkan perihal masalah ekonomi, sejatinya penutupan warung kopi di atas pukul 12 malam juga tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor perekonomian Aceh demikian pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *