Digitalisasi Akuntansi Zakat: Jalan Baru Pengurang Pajak yang Lebih Mudah dan Transparan

Zakat dan Pajak, Dua Kewajiban yang Sering Dianggap Beban Ganda

Bagi umat Islam di Indonesia, zakat adalah kewajiban agama, sementara pajak adalah kewajiban negara. Selama ini, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Muzaki membayar zakat, lalu tetap harus membayar pajak penuh. Akibatnya, muncul anggapan ada beban ganda yang harus ditanggung.

Pemerintah sebenarnya sudah memberi solusi: zakat yang dibayarkan melalui BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) resmi bisa menjadi pengurang pajak. Sayangnya, proses ini masih ribet. Muzaki harus menyimpan bukti setor zakat, lalu melampirkannya saat melapor pajak tahunan. Tidak jarang, bukti tercecer atau bahkan tidak dilaporkan.

Digitalisasi Akuntansi, Mengubah Cara Lama
Perkembangan teknologi keuangan kini menghadirkan solusi baru: digitalisasi akuntansi zakat. BAZNAS telah meluncurkan berbagai platform pembayaran zakat online—mulai dari mobile banking, e-wallet, hingga marketplace. Setiap pembayaran tercatat otomatis dalam sistem akuntansi sesuai standar PSAK 109 (Akuntansi Zakat, Infak, dan Sedekah).

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga sudah lama menerapkan sistem digital seperti e-Filing, e-Billing, dan e-Bupot. Wajib pajak bisa melaporkan dan membayar pajak secara daring tanpa harus mengantre di kantor pajak.

Bacaan Lainnya

Jika kedua sistem ini dipadukan, muncullah sebuah peluang besar: zakat bisa otomatis tercatat sebagai pengurang pajak, tanpa ribet.

Integrasi BAZNAS dan DJP: Satu Data, Dua Manfaat
Bayangkan alurnya seperti ini:
Muzaki membayar zakat lewat aplikasi BAZNAS/LAZ digital.
Data pembayaran otomatis masuk ke sistem akuntansi zakat BAZNAS.
Melalui integrasi, data tersebut langsung terkirim ke sistem DJP.
Pajak tahunan muzaki langsung berkurang sesuai nilai zakat yang dibayarkan.

Dengan cara ini, muzaki tidak perlu repot lagi menyimpan bukti setor atau mengisi manual saat melapor pajak. Semua tercatat otomatis, transparan, dan akuntabel.

Manfaat Bagi Semua Pihak
Muzaki/Wajib Pajak → lebih mudah, praktis, dan tidak merasa terbebani dua kali.
BAZNAS/LAZ → penghimpunan zakat meningkat karena insentif pajak lebih jelas.
DJP/Negara → kepatuhan wajib pajak naik karena proses transparan.
Umat → dana zakat dikelola lebih baik dan bisa memberdayakan lebih banyak mustahik.

Tantangan yang Perlu Diselesaikan
Meski menarik, integrasi ini tidak lepas dari tantangan. Standardisasi akuntansi antara PSAK 109 dengan aturan pajak perlu diselaraskan. Perlindungan data pribadi juga wajib diperhatikan agar informasi muzaki tidak disalahgunakan. Di samping itu, masyarakat perlu didorong agar lebih banyak menyalurkan zakat lewat lembaga resmi, bukan langsung ke mustahik.

Penutup
Digitalisasi akuntansi zakat sebagai pengurang pajak adalah sebuah terobosan yang menjanjikan. Dengan integrasi antara BAZNAS dan DJP, kewajiban zakat dan pajak tidak lagi terasa sebagai beban ganda, melainkan sebagai sistem yang saling mendukung.

Jika benar-benar terwujud, umat Islam akan lebih mudah menunaikan kewajibannya, negara mendapat penerimaan pajak yang lebih baik, dan zakat bisa lebih efektif memberdayakan masyarakat miskin. Inilah wujud nyata harmonisasi antara syariat dan negara di era digital.

Penulis :
Muammar Khaddafi
Pengajar Akuntansi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Malikussaleh

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *