Aceh Punya Nilai Resiliensi Kuat Pascatsunami 2004

Aceh Punya Nilai Resiliensi Kuat Pascatsunami 2004

Banda Aceh|BidikIndonesia.com – Aceh memiliki nilai-nilai ketangguhan (resiliensi) yang kuat sejak peristiwa tsunami 2004. Kearifan lokal dan adat istiadat yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan lingkungan binaan menjadi fondasi penting dalam membangun kota yang tangguh dan harmonis.

Hal tersebut disampaikan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Profesor Marwan, saat membukaInternational Conference on Sustainable and Harmonious Architecture, Planning & Environment (I-SHAPE) 2025, yang digelar di Banda Aceh.

Menurut Marwan, konferensi tersebut menjadi wujud komitmen USK dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada pengetahuan ilmiah dan kearifan lokal. Perubahan iklim, urbanisasi cepat, dan ketimpangan sosial menuntut solusi yang holistik.

“Karena teknologi saja tidak cukup. Kita perlu memadukan inovasi dengan nilai budaya dan partisipasi masyarakat agar pembangunan kota tetap manusiawi dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menegaskan, nilai-nilai resiliensi yang tumbuh di Aceh pascatsunami menjadi modal sosial penting dalam membangun lingkungan yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Bacaan Lainnya

“Kearifan lokal dan adat Aceh yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan lingkungan binaan adalah pondasi utama dalam menciptakan kota yang tangguh dan harmonis,” tambahnya.

Marwan juga menyebutkan, hasil dari konferensi ini akan diterbitkan dalam prosiding dan jurnal terindeks Scopus, serta sejumlah jurnal nasional terakreditasi, sebagai bentuk kontribusi nyata USK terhadap pengembangan ilmu pengetahuan global.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Pemerintah Kota Banda Aceh, Said Fauzan, menyampaikan apresiasi kepada USK atas penyelenggaraan forum akademik internasional ini di Banda Aceh. Kegiatan ini menjadi langkah kolektif untuk membangun lingkungan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

“Pemerintah kota sangat mendukung upaya penggunaan energi terbarukan dan desain kota yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Ia berharap, hasil dari konferensi ini tidak berhenti pada diskusi akademik semata, melainkan menghasilkan rekomendasi konkret untuk pembangunan kota Banda Aceh yang lebih berkelanjutan dan layak huni.

Ketua Panitia Pelaksana, Evalina, menjelaskan bahwa I-SHAPE 2025 diikuti oleh sekitar 121 peserta yang mengirimkan abstrak, dengan 90 peserta mempresentasikan karya ilmiah — 40 persen secara luring dan 60 persen daring.

Peserta berasal dari berbagai negara, antara lain Malaysia, Inggris, Kanada, Australia, Jerman, dan Oman.

“Konferensi ini menjadi wadah pertukaran ilmu dan pengalaman antara akademisi, peneliti, serta praktisi dari berbagai negara. Kami ingin melihat sejauh mana perkembangan ilmu arsitektur dan perencanaan merespons isu global seperti perubahan iklim dan kebencanaan, yang juga relevan dengan kondisi Banda Aceh,” jelasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *