Tujuh WNI Disekap di Myanmar, Empat Orang Warga Lhokseumawe dan Aceh Besar

Tujuh WNI Disekap di Myanmar, Empat Orang Warga Lhokseumawe dan Aceh Besar

Aceh Utara|BidikIndonesia.com – Sebanyak tujuh Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar. Empat orang diantaranya diketahui berasal dari Aceh.

Berdasarkan informasi diterima, ketujuh orang dimaksud yakni tiga orang berasal dari Lhokseumawe yakni M Taisar, Maulana Annur, dan Malik Rizky. Kemudian satu WNI asal Aceh Besar bernama Prabu Agung Pranata.

Selanjutnya dua orang berasal dari Deli Serdang, Sumatera Utara, yakni Bayu Prayogi dan Timur Agum Shall Galih. Terakhir berasal dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bernama Nur Hasanah.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) asal Aceh, Sudirman atau Haji Uma, mengatakan keberadaan mereka belum ditemukan dan dikhawatirkan tidak selamat jika tidak segera mendapat perlindungan.

Ia memutuskan menyurati Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) dan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), sebagai upaya advokasi bagi tujuh WNI yang menjadi TPPO di daerah Shwe Kokko, Myanmar.

Bacaan Lainnya

“Kita telah berkoordinasi dan menyurati Kemenlu dan KBRI di Myanmar, meminta upaya proteksi terhadap tujuh WNI korban TPPO. Mereka saat ini belum ditemukan keberadaannnya dan butuh upaya perlindungan,” kata Haji Uma.

Dikatakan Haji Uma, kasus ini bermula ketika dirinya menerima surat dari keluarga Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Aceh. Dalam surat itu, mereka menyatakan tujuh WNI disekap serta dipaksa bekerja oleh jaringan perekrut ilegal di Myanmar.

Surat tersebut memuat identitas lengkap para korban yang terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan.

“Keselamatan WNI di luar negeri adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu, kita meminta agar pemerintah melalui perangkatnya yakni Kemenlu dan KBRI untuk memberikan upaya perlindungan dan penyelamatan kepada mereka yang menjadi korban kejahatan lintas negera,” tegasnya.

Haji Uma menambahkan, KBRI Yangoon berkomitmen akan menelusuri keberadaan para korban. Mereka juga menyampaikan terima kasih atas laporan dan informasi yang disampaikan Haji Uma.

KBRI Yangon mengakui bahwa mereka menghadapi kesulitan besar dalam menangani kasus ini. Hambatan tersebut bukan karena pemerintah Indonesia belum menjalin kerja sama diplomatik, melainkan akibat situasi keamanan yang tidak kondusif dan lemahnya penegakan hukum di Myanmar.

“Kondisi itu membuat penanganan kasus perdagangan orang maupun perlindungan WNI menjadi sangat kompleks,” kata Haji Uma.

Dia mengatakan berdasarkan hasil koordinasi, KBRI tetap berupaya semaksimal mungkin memberikan bantuan hukum, administrasi, hingga dukungan imigrasi, meskipun jumlah staf terbatas dan situasi konflik di Myanmar memperumit tugas mereka.

Haji Uma berharap para korban segera dapat ditemukan seluruhnya dan bisa dipulangkan ke tanah air secepatnya. Ia juga menegaskan pentingnya upaya bagi pencegahan agar kasus serupa tidak kembali terjadi.

“Masyarakat harus berhati-hati terhadap tawaran kerja ke luar negeri, terutama melalui jalur tidak resmi yang kerap berujung pada praktik perdagangan orang. Pastikan keberangkatan hanya melalui mekanisme resmi dan dalam pengawasan pemerintah agar terhindar dari jeratan sindikat ilegal,” ujarnya.

Ia menambahkan perlindungan terhadap WNI di luar negeri harus terus diperkuat, baik melalui kebijakan yang lebih tegas terhadap perekrut ilegal maupun penguatan kerja sama internasional dalam memberantas jaringan perdagangan orang.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *