“Etika pemilu adalah urusan publik, bukan sekadar relasi personal antara pelapor dan terlapor. Ia tidak boleh disandera oleh dinamika internal lembaga,” tegas Rajief dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025). Foto: Dok bidik indonesia.
BIREUEN | bidikindonesia.com — Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menghentikan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pilkada di Kabupaten Bireuen, Aceh, menuai keprihatinan dari berbagai kalangan. Salah satu kritik datang dari pemerhati kepemiluan dan aktivis demokrasi, Muhammad Rajief.
Rajief mengungkapkan bahwa dirinya sebelumnya telah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pilkada kepada Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Bireuen. Laporan tersebut kemudian diteruskan oleh Panwaslih ke DKPP sebagai pelapor resmi. Namun dalam prosesnya, Panwaslih Bireuen mencabut laporan tersebut, yang kemudian menjadi dasar bagi DKPP untuk menghentikan pemeriksaan perkara.
Rajief menyayangkan keputusan tersebut. Ia menilai bahwa penghentian pemeriksaan hanya karena laporan dicabut menunjukkan lemahnya komitmen terhadap penegakan etika dalam penyelenggaraan pemilu.
“Etika pemilu adalah urusan publik, bukan sekadar relasi personal antara pelapor dan terlapor. Ia tidak boleh disandera oleh dinamika internal lembaga,” tegas Rajief dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).
Menurutnya, jika suatu perkara sudah masuk dalam tahap verifikasi material, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, maka proses pemeriksaan seharusnya tetap berjalan meskipun laporan telah dicabut.
“Pasal 19 menyebutkan bahwa perkara tetap bisa diproses jika telah memenuhi syarat verifikasi material. Maka dari itu, DKPP seharusnya tetap melanjutkan pemeriksaan untuk memastikan dugaan pelanggaran etik dituntaskan secara adil dan terbuka,” ujarnya.
Rajief memperingatkan bahwa keputusan DKPP ini bisa menjadi preseden buruk. Ia khawatir, pencabutan laporan bisa dijadikan celah untuk menghindari tanggung jawab etik.
“Jika pola ini dibiarkan, maka setiap pelanggaran etik dapat diselesaikan secara diam-diam dengan mencabut laporan. Ini berbahaya bagi integritas pemilu dan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi pengawasan,” katanya.
Sebagai bentuk keberatannya, Rajief menyatakan akan mengirim surat terbuka kepada DKPP. Surat itu berisi desakan agar DKPP mengevaluasi kembali keputusannya dan tetap memproses perkara yang sudah memenuhi syarat substantif.
“DKPP harus menjadi penjaga moral demokrasi, bukan sekadar pengelola administrasi laporan. Keputusan harus berpijak pada prinsip hukum, kepentingan publik, dan tegaknya kode etik,” tegasnya.
Rajief juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses penghentian perkara ini. Ia mendesak agar DKPP menjelaskan kepada publik dasar hukum dan etika yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan tersebut.
“Keterbukaan informasi adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik. DKPP wajib memberikan penjelasan terbuka agar tidak muncul prasangka negatif,” lanjutnya.
Ia juga mengajak masyarakat sipil, organisasi pemantau pemilu, dan akademisi untuk turut mengawal kasus-kasus pelanggaran etik penyelenggara pemilu agar ditangani secara objektif dan bebas dari intervensi.
“Integritas pemilu bukan hanya dinilai dari hasilnya, tapi juga dari prosesnya. Tegaknya kode etik adalah pilar utama demokrasi yang tidak boleh dinegosiasikan,” pungkas Rajief.
Di akhir pernyataannya, Rajief kembali menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses ini hingga tuntas. Ia berharap DKPP bersedia mengevaluasi keputusannya demi menjaga kualitas dan martabat demokrasi di Indonesia.