Teror Terhadap Wartawan: Gejala Pembungkaman TSM atau Indikasi Intimidasi Kebebasan Pers?

Teror Terhadap Wartawan: Gejala Pembungkaman TSM atau Indikasi Intimidasi Kebebasan Pers?

Penulis,: *Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM, C.EML, Praktisi Internal Auditor, aktif sebagai Sekretaris DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, dan sebagai Kaperwil pada media filesatu.co.id, telah memiliki Certified Audit SMK3 Professional (CASP), Certified Professional Audit Manager (CPAM), Certified Internal Auditor Professional Advance (CIAPA), Certified Ilmu Philosophy (CIP), Sertifikat Kompetensi UKW Wartawan Muda dan juga tergabung sebagai Member of The Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia, Associate member Institute of Compliance Professional Indonesia (ICOPI), Member of Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan aktif dibeberapa komunitas penulis seperti Rumah Produktif Indonesia (RPI) dan juga Komuniti Antologi Secawan Kopi Selangor Darul Ehsan, Malaysia, serta KPKERS Dili, Timor Leste., Aceh Utara, 23 Maret 2025. Foto: Dok Adhifatra

Mukadimah
Cukup viral kejadian yang menimpa dunia pers Indonesia akhir-akhir ini. Padahal Kebebasan pers menjadi salah satu pilar utama demokrasi yang memungkinkan publik mendapatkan informasi yang transparan dan akurat. Namun, di Indonesia, ancaman terhadap wartawan masih menjadi masalah serius. Kasus kekerasan, ancaman, dan intimidasi terhadap wartawan, termasuk yang dialami wartawan Tempo, menjadi bukti bahwa profesi ini masih berada dalam bayang-bayang bahaya akut dan mendekati laten.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah teror terhadap wartawan merupakan pembungkaman terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang melibatkan kekuatan besar dalam sistem, atau hanya indikasi intimidasi dari pihak tertentu yang merasa terancam oleh pemberitaan?

Studi Kasus: Kekerasan terhadap Wartawan Tempo
Beberapa wartawan Tempo pernah menjadi korban kekerasan dan intimidasi akibat liputan investigatif mereka.
Berikut beberapa contoh kasus yang mencerminkan kondisi ini:
1. Kekerasan terhadap Nurhadi (2021)
Wartawan Tempo, Nurhadi, mengalami penganiayaan dan penyekapan saat mencoba mewawancarai seorang pejabat terkait kasus korupsi. Ia dipukul, disekap, dan mengalami intimidasi fisik serta verbal oleh aparat keamanan.
Kasus ini menunjukkan adanya dugaan keterlibatan aparat negara dalam menghalangi kerja jurnalistik.

2. Serangan Digital terhadap Tempo.co*
Situs Tempo.co beberapa kali mengalami serangan siber setelah menerbitkan berita yang mengkritik kebijakan pemerintah atau mengungkap kasus-kasus sensitif.
Ini menjadi indikasi bahwa ada pihak yang ingin membatasi akses masyarakat terhadap informasi melalui metode digital.

Bacaan Lainnya

3. Ancaman dan Intimidasi terhadap Wartawan Investigatif
Wartawan Tempo lainnya juga mengalami ancaman dan teror, terutama setelah mengungkap kasus besar seperti korupsi pejabat atau mafia bisnis.
Tekanan ini kerap datang dalam bentuk pesan intimidatif, ancaman hukum, bahkan upaya kriminalisasi melalui gugatan pencemaran nama baik.

4. Pengrusakan Kendaraan Operasional Wartawan
Sebelumnya juga Wartawan desk politik Tempo yang juga penyiar siniar bocor alus politik Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran mendapatkan teror secara berulang, dimulai pada 5 Agustus 2024, kaca mobilnya di pecahkan oleh dua orang yang berkendara motor dan 3 September 2024 kaca mobilnya kembali dirusak oleh dua orang yang berkendara motor.

5. Media Tempo mendapatkan kiriman bangkai kepala babi
Kiriman yang ditujukan untuk Francisca Christy (Cica). Cica seorang wartawan desk politik Tempo yang juga host siniar bocor alus politik, pada Rabu, 19/03/2025, rentetan kasus diatas menjadi aneh tanpa adanya kejelasan dan pengungkapan yang komprehensif, hanya kutukan dari beberapa institusi.

Gejala Pembungkaman Sistematis?
Jika melihat pola serangan terhadap wartawan Tempo, ada beberapa indikasi bahwa ini bukan sekadar kejadian sporadis, melainkan bagian dari pembungkaman terstruktur, sistematis dan masif, ditandai dengan:
Keterlibatan oknum aparat dan oknum pejabat berpengaruh,  kasus seperti yang dialami Nurhadi menunjukkan adanya peran aktor negara dalam mengintimidasi pers.
Serangan Berulang dan Terorganisir, mulai dari kekerasan fisik, peretasan digital, hingga kriminalisasi hukum, semuanya menunjukkan pola yang berulang dan sistematis.
Kurangnya Perlindungan Hukum, lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan menciptakan iklim impunitas yang membahayakan kebebasan pers.
Jika dibiarkan, ini dapat berujung pada matinya kebebasan pers dan meningkatnya sensor terhadap berita-berita kritis dan ini juga sangat mungkin terjadi kepada kita yang berprofesi sebagai wartawan.

Atau Hanya Intimidasi Terhadap Kebebasan Pers?
Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa serangan terhadap wartawan Tempo merupakan bentuk intimidasi individu atau kelompok tertentu, bukan bagian dari rencana sistematis yang lebih besar. Tanda-tandanya meliputi:
Dilakukan oleh Pihak Tertentu yang Merasa Dirugikan, serangan bisa datang dari kelompok yang terkena dampak langsung dari berita investigatif, seperti mafia bisnis atau oknum politisi tertentu.
Teror Tidak Konsisten, indikasinya tidak semua media mengalami serangan yang sama, sehingga bisa jadi ini merupakan aksi individu atau kelompok tertentu yang ingin menekan wartawan secara spesifik.
Bisa didorong oleh faktor ekonomi atau politik, indikasinya dengan adanya intimidasi terhadap Tempo bisa berasal dari pihak yang berkepentingan untuk melindungi kepentingan bisnis atau politik mereka.
Meskipun teror ini mungkin tidak melibatkan kekuatan negara secara langsung, tetap saja dampaknya merugikan kebebasan pers dan membuat wartawan takut untuk mengungkap kebenaran.

Kesimpulan: Ancaman Serius bagi Demokrasi
Baik sebagai pembungkaman terstruktur, sistematis dan masif atau intimidasi terhadap kebebasan pers, kekerasan terhadap wartawan Tempo merupakan ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Jika dibiarkan, maka media tidak lagi bisa menjalankan fungsinya sebagai penjaga transparansi, partisipatif dan pengawas kekuasaan, sehingga jeratan orde baru akan terulang didepan mata, pendekatan militeristik akan terjadi dan mengakibatkan pembungkaman sporadis di segala lini dalam dunia pers.

Solusi dan Rekomendasi:
Pertama, yang harus dilakukan adalah upaya penegakan hukum yang tegas, Negara harus mampu hadir dan menunjukkan komitmen dalam melindungi wartawan dan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap pers, tanpa tedeng aling-aling, atau adanya dusta diantara kita.
Poin kedua, upaya perlindungan khusus untuk wartawan Investigatif, wartawan yang mengungkap kasus besar harus mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan.
Tahap ketiga, adanya penguatan solidaritas antar media, antar paguyuban, seperti PWI, SWI, AJI, IJTI dan yang lain untuk diperkuat dan sinergitas kolaboratif dibangun, serta kolaborasi antar media arus utama dan independen seperti Tempo, Republika, independen.id dan sejenisnya juga sangat penting untuk menghadapi ancaman bersama dan memastikan berita-berita kritis tetap tersampaikan ke publik.
Poin terakhir, kesadaran publik yang lebih tinggi, masyarakat pada umumnya harus mendukung kebebasan pers dan tidak mudah percaya pada propaganda yang menyudutkan media independen.
Akhir kata, jika pers terus dibungkam, maka bukan hanya wartawan yang menjadi korban, tetapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan ikut terancam serta ujungnya akan punah. Oleh karena itu, perlindungan kebebasan pers harus menjadi prioritas utama dalam menjaga demokrasi yang sehat dan berdaya. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita, siapa lagi. Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *