Opini : Hutan Lindung? Kami Lebih Dulu Lindungi Hutan Itu

Opini : Hutan Lindung? Kami Lebih Dulu Lindungi Hutan Itu

Penulis : Ahmad Hidayat. S.E

Kami tidak pernah meminta lebih dari yang telah kami warisi. Di Desa Salur Latun, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue, kami hidup bersahaja di atas tanah warisan nenek moyang kami. Di tanah itulah kami membangun rumah, menanam cengkeh, membuka ladang, dan menjaga hutan. Tapi hari ini, tanah itu telah berubah menjadi ketidakpastian hukum karena ditetapkan oleh negara sebagai kawasan hutan lindung tanpa melibatkan kami, tanpa menanyakan sejarah hidup kami.

Negara datang belakangan. Tapi malah menghapus kami dari peta.

Kami masih tinggal di sana, tapi kami tidak bisa membuat sertifikat tanah kami sendiri. Rumah kami dianggap berdiri di atas kawasan yang bukan milik kami. Kebun dan sawah kami tidak diakui. Kami bahkan tak bisa memperbaiki jalan desa, karena dianggap melintasi kawasan hutan lindung.

Pertanyaannya: Jika negara peduli pada kawasan ini, mengapa membiarkan masyarakatnya hidup tanpa infrastruktur dasar?

Bacaan Lainnya

Ironisnya, pemerintah juga mengakui bahwa Salur Latun punya potensi besar. Baru-baru ini, desa kami ditetapkan sebagai Desa Kerajinan Daerah oleh Dekranasda Simeulue. Di saat kami ditolak oleh sistem pertanahan karena dianggap mendiami kawasan hutan, kami justru diakui sebagai desa budaya yang melestarikan kearifan lokal.

Bukankah ini kontradiktif?

Kami bukan musuh hutan. Kami adalah penjaga hutan sesungguhnya. Kami tahu bagaimana menjaga tanah agar tetap subur, tahu kapan harus menanam dan kapan membiarkannya beristirahat. Kami tidak menebang tanpa menanam. Kami tidak membakar hutan. Kami hidup dengan alam, bukan menguasainya. Bahkan dalam masyarakat Simeulue punya kearifan ekologis sendiri yang melindungi hutan berdasarkan nilai adat dan kepercayaan.

Tapi negara tidak melihat itu. Negara hanya melihat peta. Dan di peta itulah, tanah kami dicat hijau dan kami dianggap perambah.

Kami tidak sedang melawan negara. Kami hanya meminta keadilan dan pengakuan.
Kami ingin:

1. Peninjauan ulang atas status kawasan hutan lindung di wilayah pemukiman aktif Salur Latun.

2. Pemetaan ulang partisipatif, yang melibatkan warga desa, bukan keputusan dari atas meja.

3. Legalitas hak atas tanah adat, agar anak cucu kami tak hidup dalam ketakutan akan digusur dari tanah kelahiran mereka.

Jika negara bisa menetapkan desa kami sebagai Desa Kerajinan, maka negara juga harus mengakui tanah kehidupan kami sebagai milik sah. Jika pemerintah bisa memberikan bantuan pertanian berupa pompa dan traktor, maka pemerintah juga harus mengakui bahwa lahan itu benar-benar ada dan milik masyarakat, bukan hutan belaka.

Jangan biarkan Salur Latun menjadi contoh kegagalan negara memahami rakyatnya. Karena jika hutan butuh perlindungan, maka kami-lah pelindungnya yang paling awal dan paling setia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *