Banda Aceh|BidikIndonesia.com– Dua puluh tahun setelah penandatanganan MoU Helsinki, suara peringatan kembali menggema dari salah seorang aktor penting perundingan GAM di Helsinki, Munawar Liza Zainal. Pesannya singkat tapi tegas: “Bek Tabeu” artinya jangan hambar.
Bagi Munawar, tanda-tanda “kehampaan” itu mulai terasa. Narasi keistimewaan Aceh yang dulu diperjuangkan dengan darah dan diplomasi kini jarang diulang. Akibatnya, sebagian pihak di Jakarta menganggap Aceh tak berbeda dengan provinsi lain.
“Kalau ada keistimewaan Aceh yang kita minta, lalu ada yang bilang, ‘ya sudah, sama saja seperti provinsi lain,’ itu tidak boleh, karena Aceh bukan provinsi biasa,” tegas Munawar saat diwawancarai usai diskusi publik refleksi 20 tahun damai Aceh di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Munawar menuding banyak kebijakan pusat lahir tanpa memahami Aceh.
“Jangan sembarangan membuat aturan yang aneh-aneh. Setiap kebijakan tentang Aceh harus mempertimbangkan sejarah, mendengar suara rakyat, dan berbasis riset. Jangan sampai Aceh diperlakukan seperti wilayah biasa,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Aceh bukan sekadar daerah otonomi khusus dengan jatah Dana Otsus, melainkan self-government dengan enam kewenangan saja yang dimiliki pemerintah RI di Aceh, sedangkan lainnya dilaksanakanan oleh Aceh sebagaimana diakui di MoU Helsinki. Namun semakin jauh dari 2005, kesadaran itu semakin pudar, bahkan di kalangan rakyat Aceh sendiri.
Munawar juga mengkritik narasi di tingkat nasional yang kerap memonopoli kredit perdamaian untuk tokoh Jakarta seperti SBY, Jusuf Kalla, Hamid Awaludin, atau Sofyan Djalil.
“Jangan lupa, yang paling berjasa adalah rakyat Aceh, para kombatan yang bertahan, para perunding Aceh, dan para tahanan politik yang menjadi alasan Indonesia mau berunding,” tegasnya.
Ia mengingatkan, proses damai itu juga lahir dari momentum kelam tsunami 2004. Bencana tersebut memaksa semua pihak menghentikan kekerasan.
Munawar menyebut deretan nama perunding GAM, di antaranya Tengku Malik Mahmud, Bakhtiar Abdullah, dr. Zaini Abdullah, Nurdin Abdurrahman, M. Nur Djuli, diperkuat oleh Shadia Marhaban, Munawar Liza Zainal, Teuku Hadi, Irwandi Yusuf, dan Shadia Marhaban.
Pasca-perjanjian, Munawar bersama koleganya mendirikan Sekolah Perdamaian dan Demokrasi untuk membekali eks-kombatan GAM menjadi warga sipil aktif.
“Kami mengajarkan mereka menjadi civilian, bukan sekadar orang sipil yang diam,” ujarnya.
Peringatan Munawar adalah sinyal waspada jika Aceh terus membiarkan narasi keistimewaannya hilang dari ingatan publik, maka capaian damai yang diraih lewat pengorbanan besar bisa memudar dan sejarah akan mengulang luka yang sama.***