BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Aceh ke-36 yang berlangsung dengan penuh antusias dan harapan menuju ukhuwah islamiyah semakin menguat di Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Kegiatan yang mulia, bersejarah dan menjunjung tinggi sportivitas ini sejatinya tidak sekadar dipandang sebagai program rutinitas atau formalitas layaknya perlombaan musiman, melainkan juga MTQ Aceh ini mesti dipahami sebagai upaya membuka ruang motivasi bagi masyarakat untuk terus mengagungkan al-Quran melalui berbagai perilaku aktivitas sosial.
Dengan berbagai perlombaan terkait melihat perkembangan prestasi generasi Aceh yang dihadiri oleh berbagai kafilah dengan latar daerah, suku dan bahasa yang beragam se-Aceh merupakan suatu wujud nyata bahwa tingkat religiusitas masyarakat Aceh masih kental. Dengan mencermati perhelatan MTQ Aceh ini senantiasa kita masih yakin bahwa proses penguatan umat Islam di Aceh menuju perwujudan syariat Islam secara kaffah di kabupatan/kota se-Aceh akan semakin terasa.
Seiring dengan tantangan global, terutama dari sisi kesadaran umat Islam kekinian, posisi kegiatan MTQ Aceh sungguh strategis dalam rangka menggairahkan syiar-syiar yang saling mengingatkan satu sama lain dalam mengagungkan al-Quran yang tercerminkan dari perilaku bermasyarakat. Ada sejumlah pesan tersirat yang barangkali dapat disampaikan melalui kegiatan MTQ Aceh saat ini, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama adalah pesan kepada kita semua untuk selalu menjadikan al-Quran sebagai petunjuk di tengah kompleksitasnya tantangan kehidupan kekinian. Penulis yakin bahwa di setiap kesibukan publik, baik dalam bekerja untuk menafkahi keluarga atau bekerja untuk melayani kebutuhan masyarakat, mungkin membaca al-Quran cenderung dikesampingkan. Untuk itu, melalui penyelenggaraan MTQ Aceh ke-36 ini senantiasa dapat menggugah nurani publik terkait kesadaran seberapa dekatnya kita dengan al-Quran hari ini. Apakah kedekatannya dalam bentuk rajin membaca al-Quran setalah sholat lima waktu? atau lebih dari itu aktif menghadiri pengajian tafir, menghafalkannya hingga mengamalkannya di setiap waktu.
Dalam konteks ini, sebagai masyarakat Aceh kita patut bersyukur bahwa secara regulasi dan budaya di Aceh masih peduli dan akan terus mengedepankan prinsip-prinsip syariat Islam. Dengan menanamkan serta menumbuhkan rasa cinta terhadap al-Quran, maka jangan khawatir bahwa Aceh akan terus berjalan dengan damai dan tentram, baik saat ini maupun di kemudian hari.
Tentunya kedamaian dan ketentraman yang dimaksud adalah terkait dampak dari pengalaman apa yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran. Sehingga benar adanya ketika menemukan anggapan publik bahwa sebaiknya al-Quran bukan saja untuk dihafal, atau bacaannya sekadar untuk diperlombakan, namun melampaui dari itu adalah mengamalkan al-Quran untuk menciptakan situasi dan perilaku kemanusiaan yang sadar tentang tujuannya hidup sebagai hamba Tuhan di permukaan bumi.
Kedua, meningkatkan ukhuwah islamiyah di manapun dan kapanpun. Terlihat dari penyelengaraan MTQ Aceh yang menjadi tuan rumah secara bergiliran antar kabupaten/kota di Aceh merupakan filosofi bahwa titik “membumikan al-Quran” akan selalu dihidupkan di berbagai wilayah se-Aceh tanpa terkecuali. Dengan itu, diharapkan setiap kabupaten/kota se-Aceh akan menjadi lentera-lentera penerang untuk terus mengagungkan al-Quran dengan berbagai upaya kreatifitas daerah masing-masing.
Tanpa mendorong antusiasme dalam mengamalkan ayat-ayat suci al-Quran skala lintas daerah di Aceh, sungguh terasa kering daerah ini dari sisi penguatan perilaku publik berbasis nilai-nilai al-Quran. Sebaliknya, dengan aktifnya atau meningkatnya antusiasme publik dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menyulut publik untuk terus cinta al-Quran, maka daerah Aceh dapat dipastikan akan selalu dalam lindungan Allah Swt.
Sehingga, saat mendengar kata Aceh, maka tidak ada lagi masyarakatnya yang terdengar tidak mampu membaca al-Quran. Pada posisi ini, dipandang startegis bagi lembaga-lembaga terkait yang bergerak di bidang penguatan dakwah untuk terus melaju menebarkan ibadah dengan mendongkrak minat baca al-Quran, baik itu lembaga yang berada di perbatasan Aceh maupun daerah perkotaan yang penuh dengan kesibukan dan rutinitas ekonomi dan politik.
Ketiga, memotivasi dan mengedukasi generasi muda agar tetap menjunjung tinggi akhlakul karimah. Dalam pesan ini, generasi muda menjadi prioritas untuk terus dibuka ruang melanjutkan program cinta al-Quran. Apakah itu dalam bentuk memberikan beasiswa bagi hafiz al-Quran, hingga menggairahkan kegiatan magrib mengaji seperti yang dikenal dalam budaya riligi khas Aceh.
Menjadikan generasi muda untuk dekat terhadap nilai-nilai al-Quran hari ini menjadi penting karena perilaku generasi milenial atau yang disebut sebagai generasi X dan Z saat ini cenderung dipandang rapuh mentalitasnya dalam menghadapi tantangan kehidupan beragama sesuai syariat Islam. Hari ini, dengan kasat mata mungkin kita mudah menemukan adanya generasi muda yang aktif sebagai kreator di dunia digital, namun waktunya untuk mengaji atau membaca al-Quran mungkin jarang atau minim.
Hal ini tentunya menjadi kunci jawaban bagi seluruh orang tua terkait bagaimana semangat anak-anaknya dalam mencintai al-Quran sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan yang tidak hanya di bumi, tetapi juga saat di yaumul akhir kelak.
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih saat ini, dimana generasi muda yang dekat dengan telepon pintar tidak boleh lepas kendali dari ajaran-ajaran Islam secara moderat dan mendamaikan sesama. Bukan sebaliknya, dengan beragam media konten religi hari ini kita patut juga selektif dalam menyaring informasi terkait ajaran agama Islam, sehingga generasi muda kita terhindar dari upaya pendangkalan aqidah akibat liarnya perkembangan konten religi di sekeliling “jendela” digital kita.
Tidak kalah pentingnya adalah pesan yang tersirat dari MTQ ke-36 yaitu saling mendukung kegiatan yang berorientasi pada kesolehan publik. Kesolehan publik yang dimaksud adalah tingkat aktivitas masyarakat yang lebih mengedepankan kepentingan ukhuwah Islamiyah, bukan lebih menonjolkan kepentingan pribadi atau sanak-saudara tertentu. Dalam kesadaran kesolehan publik, masyarakat berkeyakinan bahwa semua umat adalah saudara, berarti jika ia menyakiti manusia lainnya, maka sama artinya menyakiti dirinya sendiri.
Begitupula dengan apa yang diharapkan setelah kegiatan MTQ Aceh ke-36 nanti selesai, seiring dengan bertambahnya jumlah kegiatan MTQ Aceh ini, seiring itu pula kita do’akan semakin bertambahnya masyarakat Aceh yang mencintai al-Quran, akan semakin meningkat pula kesolehan publik di Aceh, hingga tali persaudaraan umat Islam akan semakin kuat dalam mencapai Aceh yang thayyibatun wa rabbun ghafur.[Liputan07]