Aceh|BidikIndonesia.com – Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang bergelar Serambi Mekkah atau Salamlik Mekkah.Daerah ini telah mendapat kewenangan menjadi daerah pemberlakuan syariat Islam. Keistimewaan ini bukan satu
pemberian atau julukan yang tidak berdasar diperoleh oleh Aceh, akan tetapi anugerah Ilahi yang tak ternilai.
Urgensi dan kewajaran pelaksanaan syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah ini merupakan warisan sejarah yang sangat berharga. Islam dan Aceh sudah menjadi senyawa, ibarat jasad dengan nyawa.
Seakan-akan tidak mungkin Aceh ini gemilang dan dijuluki Serambi Mekkah jika tidak karena syariat Islam yang menjadi tonggak dan dasar bernegara dan bermasyarakat di Aceh sejak zaman Kesultanan Aceh dulunya.
Kegemilangan Aceh yang berlunaskan syariat Islam merupakan tolok ukur menggapai keridaan Allah dan keberkahan hidup untuk bahagia dunia dan akhirat. Hujjatul Isla, Imam al-Ghazali dalam kitab beliau Ihyaul Ulumuddin mengungkapkan bagaimana penegakan amar makruf dan nahi mungkar itu wajib dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
Ini semua bertujuan agar mendapatkan keridaan Ilahi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam suasana zaman globalisasi yang begitu tidak menentu dan mencekam kehidupan masyarakat yang labil ini.
Beliau menekankan bahwasanya penegakan amar makruf dan nahi mungkar adalah perkara yang sangat fundamental dalam agama kita. Hal ini juga merupakan tujuan Allah Swt mengutus para nabi kepada umatnya.
Pengabaian konsep ini menjadi penyebab keruntuhan moral yang membawa kepada kesengsaraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Maka oleh karena itu, ulasan yang terperinci beliau utarakan betapa kepentingan penegakan amar makruf dan pencegahan dari kemungkaran ditegakkan agar kita ini terhindar dari melapetakakeruntuhan umat yang ditandai dengan dekadensi moral dan jauhnya kita dari rida dan rahmat Allah.
Ironisnya, kemungkaran, kemaksiaatan begitu marak terjadi dewasa ini dalam masyarakat yang digerus oleh arus globalisasi. Seakan tidak terbendung dan dapat dicegah hal ini berlaku, walau telah dicoba dengan bermacam pola pencegahan dan pemberantasan kemaksiatan, terutama persoalan moral dan spiritual di seluruh lapisan masyarakat.
Dengan maraknya kemugkaran dan kemaksiatan dewasa ini, seperti gejala asusila, kenakalan remaja sampai dengan penggunaan narkoba, terutama sabu-sabu, telah memprihatinkan kita semua dan bertambah-tambah lagi perhatian dan kewaspadaan kita.
Karena itu, wajib kita semua untuk mencari solusi yang ampuh dan serius serta penuh tanggung jawab agar semua penyakit masyarakat ini dapat dibasmi secara saksama di Bumi Syariat ini.
Khususnya masalah sabu-sabu yang begitu masif terjadi dalam masyarakat saat ini, maka perlu penanganan khusus dan menjadi prioritas utama oleh pemerintah, ulama, dan stakeholder lainnya yang memegang peranan sebagai wilayatul hisbah, untuk menangani dengan konperehensif demi terciptanya Aceh yang bebas dari kemaksiatan sabu-sabu dan kembali pada posisi Aceh mulia sebagaimana yang dikenal dahulunya dengan Serambi Mekkah yang melaksanakan pemberlakuan syariat Islam secara kafah.
Menurut sumber BNN, jumlah yang pernah memakai narkotika mendekati lima juta jiwa dan yang terpapar men
jadi pengguna barang haram tersebut mendekati empat juta jiwa.
Sementara di Aceh pada tahun 2024, menurut data Ditresnarkoba Polda Aceh dan Polresta jajaran Polda Aceh,
jumlah kasus narkotika berkisar 46 kasus, dan khusus kasus sabu-sabu, berjumlah 38 kasus. Ini satu malapetaka yang tak terbayangkan.
Fenomena yang tidak sehat ini, berupa penyalahgunaan narkotika sudah sangat meresahkan, yaitu pengguna dan korban narkotika cenderung terus bertambah.
Wajar dan wajib hal ini disikapi dengan segera dan tuntas. Secara pasti kerusakan yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika sangat fatal dan dipastikan dapat merusak fi sik dan psikis yang tidak ada jaminan sembuh, bahkan mungkin menyebabkan kematian.
Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya: Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar makruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan di antara mereka sedikit pun.” An-Nawawi berkata,”Telah banyak dalil Al-Qur’an dan sunah, serta ijma’ yang menunjukkan kewajiban amar makruf nahi mungkar.”
Dengan demikian jelas bahwa kita berkewajiban menegakkan amar makruf dan nahi mungkar untuk membasmi kemaksiatan dan kemungkaran, terlebih lagi yang telah menjadi keresahan umat seperti sabu-sabu.
Segenap lapisan masyarakat baik pemerintah, ulama, tokoh-tokoh masyarakat dan stakeholder lainnya mempunyai peranan tersendiri dan merupakan wilayatul hisbah yang seiring sejalan serta penanggung jawab terhadap pemberantasan kemaksiatan dalam masyarkat.
Wilayatul hisbah harus diartikan sebagai penyelenggara penegakan amar makruf nahi mungkar, yang terdiri atas seluruh jajaran pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk pemberantasan kemaksiatan dan kemungkaran serta penegakan amar makkruf.
Andai kata ini dapat dijalankan sepenuhnya dan masyarakat dapat disadarkan kembali sesuai syariat Islam, maka kemungkaran, kemaksiatan dapat dihapus dan amar makruf berdiri tegak di Bumi Serambi Mekkah seperti era kegemilangannya dahulu.
Maka pada gilirannya apa yang dinamakan sabu-sabu akan sirna di Bumi Meutuah ini. (*)