Oleh Muhibbudin Ucok Sibreh
Aceh Besar|Bidikindonesia.com. Rabu, 27 November 2024, bukan sekadar hari pencoblosan. Itu adalah hari besar, hari di mana suara rakyat menjadi penentu. Setiap pilihan di bilik suara bisa menggulingkan tirani, mengubah arah pemerintahan, atau malah memperpanjang derita. Hari itu, rakyat memiliki kesempatan mengubah nasib daerah mereka—atau justru menambah beban.
Namun, tidak semua calon pemimpin layak dipilih. Ada yang tulus, ada pula yang datang dengan otak kosong dan kantong lapar. Dua tipe ini sering sulit dibedakan, terutama saat janji palsu dan uang politik membuat pemilih terlena. Inilah mengapa penting untuk mencegah orang “bodoh” dan serakah berkuasa.
Tanggal 27 juga hari pergeseran kekuasaan dari rakyat ke paslon, jadi hati-hati memberi haknya karena setelah hari itu paslon terpilih yang punya kekuasaan.
Apa Itu Pemimpin “Bodoh”?
Kebodohan di sini tidak selalu berkaitan dengan rendahnya pendidikan formal. Ada banyak pemimpin yang gelarnya panjang tetapi tetap “bodoh” dalam konteks kepemimpinan.
Pemimpin bodoh adalah mereka yang tak mampu memahami kebutuhan rakyat. Mereka gagal membaca prioritas, cenderung hanya fokus pada pencitraan. Hasilnya, kebijakan yang dibuat sering kali tidak menyentuh akar masalah.
Proyek mercusuar yang mangkrak, pembangunan jembatan di tempat yang tak perlu, atau pengadaan fasilitas mewah yang hanya menguntungkan segelintir orang—semua itu adalah contoh nyata kebijakan pemimpin bodoh.
Pemimpin Serakah, Racun Kepemimpinan. Jika kebodohan masih bisa diatasi dengan pembelajaran, keserakahan adalah persoalan yang jauh lebih serius. Pemimpin serakah melihat kekuasaan sebagai alat untuk memperkaya diri.
Anggaran daerah menjadi rekening pribadi. Jabatan strategis diberikan kepada kroni, bukan kepada yang kompeten. Bahkan bantuan untuk masyarakat miskin dipotong demi keuntungan pribadi.
Pemimpin serakah juga cenderung menutup ruang demokrasi. Aktivis diintimidasi, media dibungkam, kritik dihilangkan. Dampaknya, rakyat kehilangan suara mereka, sementara keserakahan terus merajalela.
Pemimpin vs Penguasa. Ada perbedaan besar antara pemimpin sejati dan penguasa.
Pemimpin sejati memandang kekuasaan sebagai amanah. Ia berani mengambil keputusan yang sulit demi kebaikan jangka panjang, meski keputusan itu tidak populer.
Sebaliknya, penguasa hanya peduli pada satu hal: bertahan di kursi kekuasaan. Rakyat dianggap alat, pemilu hanyalah formalitas. Setelah menang, penguasa semacam ini segera melupakan siapa yang memilihnya.
Empat Dampak Kepemimpinan Buruk, Pemimpin bodoh dan serakah membawa kerugian besar bagi daerah. Setidaknya ada empat kerugian yang akan dituai, 1. Kebijakan Tidak Efektif, Kebijakan yang dibuat tanpa pemahaman kebutuhan rakyat hanya akan memboroskan anggaran. Sementara itu, masalah mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, atau banjir tahunan tetap tidak terselesaikan. 2. Korupsi yang Mengakar
Pemimpin serakah memanfaatkan anggaran untuk keuntungan pribadi. Proyek pembangunan disunat, dana pendidikan dan kesehatan dialihkan, pelayanan publik pun terabaikan. 3. Ketidakstabilan Sosial. Ketika rakyat kecewa, ketegangan meningkat.
Demonstrasi dan protes menjadi pemandangan sehari-hari. Pemimpin yang represif hanya memperburuk situasi, menciptakan lingkaran masalah yang tak berujung. 4. Stagnasi PembangunanTanpa visi jangka panjang, daerah akan tertinggal jauh di belakang. Sementara daerah lain maju pesat, daerah yang dipimpin oleh orang bodoh dan serakah justru terjebak dalam kemunduran.
Solusi Cerdas Memilih Pemimpin
Literasi Politik Masyarakat, Rakyat perlu memahami bahwa memilih pemimpin bukan sekadar formalitas. Pilihan kita menentukan nasib daerah selama lima tahun ke depan.
Kenali rekam jejak calon. Apakah ia memiliki catatan korupsi? Apakah ia pernah menyalahgunakan kekuasaan? Pemahaman semacam ini bisa menjadi benteng awal untuk mencegah orang yang salah naik ke tampuk kekuasaan.
Pengawasan Kampanye, Masa kampanye adalah waktu penting untuk mengenal calon pemimpin. Jangan hanya melihat baliho besar atau janji manis di atas panggung. Perhatikan bagaimana calon melibatkan masyarakat dan merespons kritik.
Dorong Partisipasi Tokoh Lokal, Tokoh agama, masyarakat, dan pemuda memiliki pengaruh besar dalam membimbing masyarakat memilih calon yang berintegritas. Mereka harus berani bersuara dan menjadi teladan dalam memilih dengan hati nurani.
Tolak Politik Uang, Politik uang menjadi tantangan terbesar. Meski menggoda, amplop tebal hanya akan membuat rakyat menyesal di kemudian hari. Kesadaran kolektif untuk menolak politik uang adalah langkah awal menuju perubahan.
Intinya, Mencegah orang bodoh dan serakah berkuasa adalah tanggung jawab bersama. Rakyat harus cerdas, kritis, dan berani melawan penguasa yang hanya peduli pada dirinya sendiri.
Perubahan tidak datang dari langit. Itu dimulai dari bilik suara. Pada hari pencoblosan, pastikan suara Anda membawa perubahan yang positif. Pilihan yang salah akan menjadi beban kita selama lima tahun ke depan.
Pada akhirnya, pemimpin yang terpilih adalah cerminan dari kualitas pemilihnya. Pilihlah dengan hati dan pikiran, bukan karena tergoda janji palsu atau amplop tebal. Sebab, masa depan daerah ini ada di tangan kita semua. Jangan sia-siakan kesempatan untuk menentukan arah yang lebih baik. Hindari memilih pelanjut kekuasaan, karena biasanya akan cuci tangan dan tidak akan membalas lagi jasa rakyat karena periodenya telah game over.
*Penulis adalah Pengamat Politik dari Sibreh