Mantan Reje Pedemun Terbukti Palsukan Tanggal SK, Yusra Desak APH Ambil Langkah Persuasif
Takengon bidikindonesia.com – Kasus dugaan pemalsuan Surat Keputusan (SK) oleh mantan Reje Pedemun kian menyita perhatian masyarakat Aceh Tengah. Tindakan memalsukan tanggal SK dan memperpanjang masa jabatan secara ilegal ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Pemerhati pemerintahan desa, Yusra Efendi, mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera mengusut tuntas dugaan tersebut secara persuasif dan profesional.
Menurut Yusra, SK yang seharusnya diterbitkan oleh mantan Bupati Aceh Tengah, Sabella Abu Bakar, pada 7 September 2018, diduga telah diubah oleh Reje Pedemun beserta kelompoknya menjadi 30 September 2018. Perubahan ini, menurut dugaan, dilakukan dengan sengaja untuk memperpanjang masa jabatan yang sebenarnya telah berakhir.
“Perubahan tanggal ini sangat mencurigakan karena masa jabatan yang diperpanjang tidak sesuai dengan dokumen asli. Bukti foto pelantikan yang menunjukkan perbedaan tanggal juga memperkuat indikasi adanya pemalsuan,” ujar Yusra.
Ia menilai, tindakan semacam ini tidak hanya mencederai kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemimpin desa, tetapi juga melanggar prinsip akuntabilitas dan transparansi. “Saya mendesak APH untuk segera bertindak dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan,” tegasnya.
Landasan Hukum
Yusra menjelaskan bahwa dugaan pemalsuan ini dapat dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
1. Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP
Pasal 263 KUHP mengatur ancaman pidana hingga 6 tahun bagi pelaku pemalsuan dokumen.
Pasal 264 KUHP menambah ancaman hukuman menjadi maksimal 8 tahun untuk dokumen yang memiliki nilai otentik.
2. Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2021 tentang Tipikor
Pasal ini mengatur hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar bagi pelaku penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Seruan Publik dan Harapan
Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan dalam pemerintahan desa di Aceh Tengah. Publik meminta APH bertindak cepat dan tegas, tidak hanya demi mengungkap kebenaran tetapi juga mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
“Kepercayaan masyarakat pada pemerintahan desa harus dijaga. Kasus seperti ini, jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk dan merusak tata kelola pemerintahan,” tutup Yusra.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga integritas dalam setiap level pemerintahan, khususnya di tingkat desa yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.