BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, klarifikasi tuduhan suap Keuchik terkait penawaran penampungan sementara pengungsi Rohingya di lokasi lahan miliknya, yakni di kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar.
Selain itu, Safaruddin juga menyampaikan beberapa informasi terkait dengan pengungsi Rohingya, terutama simpang siur pemberitaan tentang bermacam hal.
Jadi karena posisi pengungsi Rohingya ini belum memiliki tempat yang pas atau memadai sehingga pihaknya berinisiatif menawarkan sebuah tempat yang bisa digunakan untuk pengungsi.
Tapi walaupun demikian tempat yang diusulkan tersebut tidak serta merta bisa langsung ditempatkan.
Karena dalam peraturan presiden nomor 125 Tahun 2016 tentang penampungan pengungsi luar negeri disebutkan bahwa jika kita menemukan pengungsi di laut kemudian diletakan di darat untuk selanjutnya ditempatkan di rumah detensi imigrasi di bawah kementerian hukum dan HAM.
Lanjut Safar, nantinya dari rumah detensi imigrasi tersebut baru dilakukan verifikasi. Kalau tidak ada rumah detensi atau penampungan sementara itu kemana, yaitu disebut dengan akomodasi sementara, yakni di luar rumah detensi.
“Dan rumah akomodasi sementara ini harus ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/ kota,” ujar Safar, dalam jumpa pers, Kamis (28/12/2023).
Untuk itu pihaknya berinisiatif menawarkan kepada pemerintah kabupaten Aceh Besar, berupa lahan yang merupakan miliknya yang bisa dipakai dan tak perlu dibayarkan.
Lanjut Safar, menyebut menanggapi pemberitaan seolah olah pihaknya menyogok Keuchik, untuk bisa menempatkan sementara terhadap pengungsi Rohingya di lokasi lahan miliknya di kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, adalah hal yang tidak benar.
“Dan saya sudah klarifikasi masalah pemberitaan tersebut, dan membatah bahwa hal tersebut tidak benar,” ucapnya.
Lebih lanjut Safaruddin, menyebut bahwa lahan yang disediakan tersebut lebih kurang seluas 12 hektar, berupa tanah miliknya.
Sejauh ini menurutnya sudah melakukan rapat dengan warga kemukiman Lamteuba yang berjumlah 8 desa. Di mana hasil rapat tersebut disepakati bersama penundaan sementara terkait penampungan di lokasi tersebut karena menyangkut hal hal yang tidak diinginkan sambil menunggu informasi lebih lanjut dari pemerintah.
“Para Keuchik, Tuha Peut, dan tokoh masyarakat setempat meminta untuk sementara jangan dulu di tempatkan di lokasi dimaksud sambil menunggu informasi lebih lanjut dari pemerintah untuk menghindari hal hal yang tidak dinginkan/ gejolak dari masyarakat sebagaimana yang disampaikan di media media sosial yang literasi tidak jelas.
“Oleh karena kesepakatan tersebut saya pikir karena sudah berkoordinasi dan menghormati keputusan tersebut, ya sudah tidak ada masalah dan kita juga akan menyampaikan hal itu kepada pemerintah,” paparnya.
Namun, lanjut Safar hal yang terpenting meski tidak bisa ditempatkan di lokasi miliknya itu, ia berharap pemerintah bisa menempatkan di mana saja.
“Bagi saya tidak ada masalah. Kita hanya memantik tanggungjawab pemerintah. Jangan seperti sekarang ini. Karena ini menyangkut kemanusiaan. Apalagi sebagaimana yang sekarang ini terjadi, dan sudah menjadi sorotan dunia dan sudah sangat memalukan kita selaku bangsa Indonesia umumnya dan warga Aceh khususnya,” tukas Safar.
Selanjutnya ia menyebut terkait suap yang ditudingkan kepada pihaknya, itu tidak benar. Mana ada yang namanya suap menyuap terkait persoalan tersebut. Karena kita bekerja swadaya dari dulu hingga sekarang.
Hal ini kita lakukan demi kemanusiaan. “Jangankan manusia sapi saja kita jemput kalau berada di hutan. Apalagi manusia. Keberadaan mereka oleh pemerintah ditolak di sana sini. Anak anak dan perempuan serta orang tua, dan ini sangat menyedihkan,” tutur Safar.
Lanjut Safar, secara kemanusiaan hati kecil kita tidak dapat menerima dan melihat hal seperti itu. Makanya kita sedih terhadap apa yang mereka rasakan. Oleh karenanya apa yang bisa kita lakukan kita lakukan demi kemanusiaan.
Karena itu, ia berinisiatif menempatkannya di lokasi lahan miliknya. “Jika memang pemerintah tidak bisa menyediakan penampungan untuk mereka, tempatkan saja di lahan milik saya,” pintanya.
Di mana sebelumnya, kata Safar, sudah berkoordinasi terlebih dahulu dengan kawan kawan UNHCR untuk melihat kelayakan lahan yang dimiliki untuk melakukan penampungan sementara terhadap pengungsi Rohingya.
“Dan teman teman di UNHCR , menilai layak, dan setelah itu baru saya sampaikan ke publik, bahwa saya siap untuk melakukan penampungan sementara terhadap etnis Rohingya tersebut,” jelasnya.
Kemudian setelah itu kita menyurati Bupati Aceh Besar untuk menempatkan mereka di lokasi lahan yang dimilikinya sebagai akomodasi sementara untuk para etnis Rohingya dimaksud.
“Kalau pemerintah mengatakan sudah boleh baru boleh dilakukan, kalau dikatakan tidak boleh ya tidak boleh kita lakukan,” terangnya lagi.
Dikatakannya, pengungsi beda dengan imigran terkadang kita salah menyebut. Imigran terdiri atas imigran legal dan imigran ilegal atau imigran gelap. Pengungsi adalah mereka yang lari dari negara asalnya ke sebuah negara untuk menjalani hidup yang lebih layak, yang disebabkan oleh adanya perang, bencana, persekusi, krisis ekonomi atau politik, dll.
Pengungsi Rohingya ini tidak punya apa apa, tidak punya KTP, dan paspor, dan status mereka diberikan oleh UNHCR adalah pengungsi, artinya etnis Rohingya bukan imigran tapi statusnya adalah pengungsi, dan hal tersebut diatur dalam peraturan presiden nomor 125 tahun 2016 terhadap pengungsi luar negeri.
Pengungsi tidak bisa dideportasi, dan kita tetap harus menerima dan menempatkannya sementara. Karena memang seperti itu aturan bernegara. Oleh karena untuk hal kemanusiaan kita sebagai warga Aceh harus menerimanya.
Setelah tempatnya sudah ada nanti, pengamanannya adalah kepolisian dan hal itu sudah diatur dalam Perpres nomor 125 tahun 2016. “Saya pikir hal tersebut tidak rumit, kalau alat alat negara bergerak dengan sigap sesuai aturan,” tambahnya.
Selanjutnya Safaruddin, mengatakan jika ada hal terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di maksud, artinya ada indikasi kearah sana, dirinya sepakat untuk dilakukan penindakan karena itu sudah perbuatan kejahatan berupa memperjual belikan manusia.
“Jika memang benar adanya indikasi hal tersebut saya sepakat untuk dilakukan penindakan. Dan jika memang hal ini ada indikasi seperti itu terhadap pengungsi etnis Rohingya tersebut berarti mereka ini merupakan korban, yakni pertama korban dari kejahatan manusia dan juga korban sebagai pengungsi,” terangnya.
Jadi, mereka tersebut dua kali menjadi korban, pertama korban dari kejahatan manusia itu sendiri dan korban sebagai pengungsi. “Alangkah sengsaranya mereka,” lirih Safar.
Sementara itu, Safar juga mengatakan terkait hal yang disampaikan oleh pemerintah kabupaten Aceh Besar terkait penampungan sementara di lokasi lahan miliknya itu belum ada jawaban dari pemerintah setempat juga terhadap masyarakat di pemukiman Lamteuba, karena masyarakat juga menunggu informasi dari pemerintah.
Nah, untuk itu sementara menunggu dua hal dimaksud, ucap Safar, demi kenyamanan bersama, sambil berharap pemerintah mengambil hal hal sesegera mungkin dalam hal kemanusiaan, mengambil langkah menempatkan pengungsi Rohingya yang layak dan penanganannya secara prosedural untuk selanjutnya pihak UNHCR yang mengurusnya untuk proses selanjutnya agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah tengah masyarakat.
Kita perlu mendorong pemerintah bekerja cepat, yang sifatnya sebagai penampung sementara sebagaimana perjanjian konvensi UNHCR untuk selanjutnya diserahkan kepada negara negara anggota penerima konvensi UNHCR. Sementara negara kita belum, dan kita sifatnya penampung sementara.
“Telah Membunuh Rasa Kemanusiaan” Sementara itu lanjut Safaruddin, terkait hal yang dilakukan mahasiswa dengan melakukan penyerangan terhadap pengungsi Rohingya adalah telah membunuh rasa kemanusiaan.
Seharusnya mahasiswa kita harus cerdas dalam melihat persoalan tersebut. Setidaknya harus membaca dahulu terhadap persoalan yang terjadi serta melakukan verifikasi, setelah itu baru melakukan advokasi. Sedangkan terhadap apa yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut tidak mendasar.
“Komunikasikan dulu dengan segala lintas sektor baru melakukan pengambilan sikap dengan cara cara intelektual sebagaimana mahasiswa,” ujarnya.
Menurutnya, langkah yang diambil oleh mahasiswa dengan melakukan penyerangan terhadap pengungsi Rohingya, telah menjadi sorotan dunia internasional. Menyerang anak anak dan kaum perempuan, sehingga mereka ketakutan dan trauma.
“Ini sudah tidak benar dan saya tidak sepakat terhadap apa yang telah dilakukan oleh para mahasiswa terkait tindakannya itu,” ungkap Safaruddin.
Terakhir, ia menyebut bahwa pada dasarnya pengungsi Rohingya tersebut, juga tidak mau berlama lama di pengungsian.
“Mereka juga pengen berkumpul bersama keluarganya di tempat di mana keluarganya berada dan menetap dalam berbagai belahan negara yang ada,” pungkas Safar.[APJN]