Banda Aceh|BidikIndonesia.com — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Zulfadhli atau yang akrab disapa Abang Samalanga, mengingatkan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk tidak gegabah dalam mengusut dugaan korupsi atau penyimpangan anggaran yang melibatkan aparatur pemerintah daerah.
Ia menegaskan, setiap tindakan hukum oleh APH harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), khususnya Inspektorat daerah.
Pernyataan tersebut disampaikan Zulfadhli di Banda Aceh, menyusul kekhawatiran meningkatnya tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan hanya berdasarkan laporan masyarakat, tanpa melalui mekanisme koordinatif sebagaimana diatur dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
“APH memang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan KUHAP dan undang-undang sektoral seperti UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. Tapi ketika menyangkut dugaan penyimpangan oleh aparatur pemerintah daerah, mekanismenya harus melalui koordinasi dengan APIP terlebih dahulu,” tegasnya.
Ia menjelaskan, MoU Nomor 100.4.7/437/SJ, Nomor 1 Tahun 2025, dan Nomor NK/1/I/2023 secara eksplisit mengatur bahwa laporan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan daerah harus ditelaah dulu oleh Inspektorat.
Hasil pemeriksaan itulah yang menentukan apakah laporan tersebut mengandung kesalahan administratif atau indikasi tindak pidana.
“Kalau cuma salah administratif, penyelesaiannya cukup dengan pembinaan oleh Inspektorat. Tapi kalau ada indikasi pidana, barulah dilimpahkan ke APH untuk ditindaklanjuti secara hukum,” ujar Zulfadhli.
Politisi Partai Aceh itu menegaskan bahwa tujuan dari nota kesepahaman ini adalah untuk mencegah kriminalisasi terhadap pejabat daerah serta memperkuat tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berintegritas.
Selain pencegahan kriminalisasi, mekanisme tersebut juga memberi ruang bagi pemulihan kerugian negara sebelum suatu kasus masuk ke ranah hukum pidana.
“Yang kita utamakan adalah pengembalian kerugian negara, bukan buru-buru mempidanakan orang,” tegasnya.
Zulfadhli mengingatkan penegakan hukum yang tidak sesuai prosedur dapat berakibat pada tersendatnya pembangunan di daerah, apalagi saat ini Aceh sedang dalam tahap percepatan pembangunan di berbagai sektor.
Dalam kesempatan itu, Zulfadhli juga menggarisbawahi pentingnya menjaga stabilitas pemerintahan dan kelancaran pembangunan di Aceh.
Ia menyinggung besarnya komitmen Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam mendukung program pembangunan nasional Presiden Prabowo Subianto, yang terangkum dalam Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.
“Presiden Prabowo sendiri beberapa kali menyebut Gubernur Aceh sebagai sahabatnya dalam forum nasional maupun internasional, termasuk di Rusia. Jangan sampai semangat dan komitmen ini terganggu oleh persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan secara administratif,” katanya.
Menurut Zulfadhli, pembangunan Aceh masih menghadapi banyak tantangan dan butuh dukungan maksimal dari semua pihak, termasuk melalui percepatan realisasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang kini tersisa hanya satu persen dari total APBN.
“Kita sedang perjuangkan agar dana otsus dinaikkan menjadi 2,5 persen dan bersifat permanen. Maka serapan yang optimal terhadap dana yang tersedia saat ini sangat penting. Jangan sampai proses pembangunan terhambat hanya karena penyelesaian hukum yang tidak taat prosedur,” pungkasnya.