Dr. Sutikno, M.Si., memaparkan hasil temuan potensi hilirisasi kemiri di kawasan transmigrasi Leungah dalam FGD di di Aula Drs. Sanusi Wahab, Kantor Bupati Aceh Besar, Rabu (15/10/2025). (Amira Layyina/Bidik Indonesia)
Aceh Besar, Bidik Indonesia — Tim Ekspedisi Patriot Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyoroti potensi besar kemiri di kawasan transmigrasi Leungah, Kecamatan Seulimeum, untuk dikembangkan sebagai komoditas unggulan baru Aceh Besar. Temuan ini dipaparkan dalam Focus Group Discussion (FGD) di Aula Drs. Sanusi Wahab, Kantor Bupati Aceh Besar, Rabu (15/10/2025).
Ketua Tim Ekspedisi Patriot ITS Seulimeum sekaligus Kepala Pusat Studi Pusat Desain dan Pengembangan Masyarakat (PDPM) ITS, Dr. Sutikno, M.Si., menjelaskan bahwa Leungah memiliki ekologi yang ideal untuk pengembangan kemiri. “Selama ini warga hanya menjual kemiri mentah ke tengkulak. Padahal, kualitas kemiri dari Leungah termasuk terbaik dan sangat potensial dikembangkan menjadi produk turunan bernilai tinggi seperti minyak kemiri,” ujarnya.
Menurut Sutikno, hilirisasi kemiri dapat menjadi penggerak ekonomi baru bagi desa. “Bijinya bisa diolah menjadi minyak, bumbu masak, hingga bahan pengobatan tradisional. Sementara cangkangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar biomassa, pupuk organik, karbon aktif, bahkan bahan kerajinan,” katanya.
Ia menilai penguatan rantai nilai kemiri dapat menjadi model pembangunan ekonomi berbasis potensi wilayah. “Leungah punya posisi strategis untuk membangun industri kemiri. Nilai tambahnya akan jauh lebih besar dibanding menjual bahan mentah,” tambahnya.
Namun, potensi tersebut belum tergarap maksimal. Pengusaha kemiri asal Solo yang kini menetap di Jantho, Suratmin, menyebut belum ada upaya serius dari Pemerintah Aceh dalam peremajaan bibit. “Padahal kualitas kemiri Aceh bagus, tapi sering dikenal sebagai kemiri Medan, padahal asalnya dari sini. Bibitnya pun tidak pernah diperbarui, berbeda dengan daerah lain seperti NTT yang rutin melakukan peremajaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, tingginya permintaan pasar seharusnya bisa menjadi peluang besar bagi petani lokal. “Permintaan banyak, tapi kami belum mampu memenuhinya semua. Kalau makin banyak yang main di pasar kemiri, justru bagus,” ujarnya.
Pelaku usaha mikro minyak kemiri, Ahmad Hisyam, menilai kendala terbesar ada pada permodalan dan legalitas produk. “Untuk izin BPOM harus memiliki pabrik skala kecil, sementara status usaha kami masih mikro,” ujarnya. Meski begitu, ia menilai potensi bisnisnya menjanjikan. “Margin keuntungan minyak kemiri bisa sampai 40 persen, itu pun baru dari skala rumahan,” katanya.
Peserta FGD mencatat, pengembangan kemiri tidak bisa dilepaskan dari perbaikan akses dan sarana pertanian. Jalan menuju area perkebunan masih belum beraspal, sehingga pengangkutan hasil panen menjadi sulit, terutama saat musim hujan.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian Ekspedisi Patriot ITS yang berlangsung sejak Agustus hingga 9 Desember 2025. Program ini bertujuan memetakan potensi ekonomi dan menyusun strategi pengembangan kawasan transmigrasi berbasis riset di Aceh Besar.[mia]