Banda Aceh | Bidik Indonesia – Dalam rangka memperingati Hari Buruh 2025, kegiatan Suluh PTRG Seri ke-25 sukses digelar secara virtual pada Jumat (9/5). Mengangkat tema “Hari Buruh dan Hak Perempuan,” acara ini menjadi ruang diskusi penting untuk membedah isu-isu krusial yang dihadapi perempuan pekerja di Indonesia, mulai dari ketimpangan struktural, diskriminasi, hingga upaya resistensi dan transformasi sosial.
Acara yang terselenggara berkat kolaborasi antara Kementerian Agama, We Lead, Aliansi PTRG, Forum PSGA, UIN Ar-Raniry, dan Rumah KitaB ini menghadirkan jajaran narasumber lintas bidang, mulai dari akademisi, aktivis buruh, hingga pembela hak asasi manusia. Acara ini disiarkan langsung melalui Zoom Meeting dan kanal YouTube resmi Rumah KitaB, memungkinkan partisipasi luas dari publik di berbagai daerah.
Acara dibuka oleh Prof. Dr. Mursyid Jawas, M.Ag., Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang menggantikan Rektor UIN. Dalam sambutannya, Prof. Mursyid menekankan pentingnya kesadaran kolektif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja, termasuk perlindungan hukum dan sosial yang memadai.
Diskusi pertama dibuka oleh Achmat Hilmi, Direktur Kajian dan Advokasi Rumah KitaB, yang memaparkan hasil penelitiannya terkait situasi perempuan bekerja di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bandung. Ia menyoroti bahwa meskipun pendidikan tinggi diraih, perempuan belum tentu diterima bekerja. Hilmi menekankan perlunya mendorong inklusivitas dalam pandangan keagamaan, budaya domestik maupun publik, kebijakan negara, hingga peran komunitas penggerak.
Selanjutnya, Eva K. Sundari, MA., MDE, Koordinator Koalisi Sipil PPRT, memaparkan gagasannya tentang Feminisme Pancasila dan care economy. Eva menekankan bahwa Feminisme Pancasila berakar pada nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan spiritualitas, menempatkan kesetaraan bukan sebagai persaingan gender, tetapi kerja sama saling menguatkan. Ia juga mengingatkan bahwa care economy atau ekonomi perawatan adalah tanggung jawab bersama negara dan rakyat, bukan semata-mata urusan perempuan.
Tiasri Wiandani, Demisioner Komnas Perempuan 2020–2024, menyoroti masih terjadinya diskriminasi dalam tata kelola ketenagakerjaan nasional. Menurutnya, sistem ketenagakerjaan Indonesia cenderung bias pada sektor formal, sehingga mengabaikan pekerja di sektor-sektor lain, termasuk pekerja perempuan yang kerap menghadapi ruang-ruang diskriminasi.
Melengkapi diskusi, Wahyu Susilo dari Migrant Care membahas pola migrasi tenaga kerja internasional. Wahyu memaparkan kerentanan berganda yang dialami pekerja migran perempuan: bekerja di sektor tak diakui formal, dalam struktur masyarakat yang patriarkis. Stigmatisasi, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender menjadi tantangan yang terus dihadapi para buruh migran perempuan.
Acara ini dimoderatori oleh Dr. Nashriyah Zakaria, M.A., Kepala PSGA UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang memandu diskusi dengan apik. Dalam penutupnya, moderator menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, lembaga agama, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal untuk menciptakan ekosistem yang lebih ramah bagi perempuan pekerja.
Dengan terlaksananya Suluh PTRG Seri ke-25 ini, diharapkan kesadaran publik terhadap hak-hak buruh perempuan semakin meningkat. Diskusi lintas perspektif seperti ini menjadi langkah penting dalam mengikis ketimpangan gender dan memperkuat perjuangan perempuan di ruang kerja, baik formal maupun informal.[mia]