Sigli|BidikIndonesia.com – Peresmian Memorial Living Park pada Kamis (10/7/2025), menjadi hari yang bersejarah dengan selesainya peresmian Memorial Living Park dan masjid di Kompleks Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie.
Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat, termasuk Menko Kumham dan Imipas RI Yusril Ihza, Wamen HAM Mugiyanto Sipin, Wamen PU Diana Kusumastuti, dan Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah.
Pada kesempatan tersebut, dua korban yang juga merupakan anak dari para penyintas penyiksaan di Rumoh Geudong diberi kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan keluhan mereka.
Saifuddin, warga Kecamatan Glumpang Tiga, salah satu korban, menceritakan pengalaman traumatisnya ketika ia dibawa ke Rumoh Geudong saat berusia lima tahun dan disiksa, ia juga mengaku sempat digantung.
Sementara orangtuanya lebih dahulu dijemput ke Rumoh Geudong.
“Saya mewakili rekan-rekan korban lainnya untuk menuntut pemerintah membangun Museum Rumoh Geudong di kawasan Memorial Living Park,” ujar Saifuddin.
Ia juga meminta agar nama “Living Park” diubah menjadi “Memorial Living Park Rumoh Geudong” dan agar narasi mengenai korban dicantumkan di batu nisan, terutama terkait penemuan tulang belulang manusia saat pembangunan park tersebut.
Selain itu, Saifuddin meminta agar pemerintah memfasilitasi kegiatan rutin dan doa bersama pada 7 Agustus, yang bertepatan dengan hari dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Ia juga menuntut agar proses penyelesaian pelanggaran HAM, khususnya di wilayah Pidie dan Pidie Jaya, dipercepat.
Juga dilakukan tindak lanjut pemulihan korban Rumoh Geudong dan pos sattis lainnya di Aceh.
Kecuali itu, adanya kepastian pengelolaan Living Park Rumoh Geudong dengan penyediaan anggaran dari pemerintah pusat.
Sebab, Living Park itu mencakup 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia, yang telah diakui negara.
“Pengelolaan Living Park harus melibatkan korban, anak korban, serta warga sekitar Rumoh Geudong,” papar dia.
Sementara anak korban Rumoh Geudong lainnya, bernama Nurbaiti binti Rasyid menyampaikan, bahwa ibu kandungnya Nyak Maneh pada tahun 1997, dibawa ke Rumoh Geudong.
Namun, sejak dibawa ke Rumoh Geudong hingga kini, tidak diketahui di mana kuburnya.
Selain itu, dua adik dan kakaknya juga dijemput ke Rumoh Geudong yang dijadikan budak seks selama delapan bulan.
“Saya sebagai ahli waris meminta kepada pemerintah supaya dilakukan pemulihan nama baik keluarga saya,” tukas Nurbaiti.
Menurutnya, pemulihan itu berlaku untuk korban di Rumoh Geudong dan pos sattis lainnya.
Selain itu, pelaku HAM berat masa lalu juga diminta agar diadili sesuai dengan UU yang berlaku.
“Memberikan beasiswa kepada anak korban hingga perguruan tinggi,” tuturnya.
“Juga layanan kesehatan kepada korban dan memprioritaskan lapangan kerja kepada korban dan anak korban,” pungkas Nurbaiti.
Pekerja kemanusiaan dipukul
Sementara itu, aktivis kemanusiaan, Faisal diduga dipukul saat proses peresmian Memorial Living Park di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie.
Pemukulan salah seorang staf LSM PASKA Aceh itu terjadi di panggung tempat duduknya para korban konflik.
Faisal dipukul jelang dimulainya peresmian Memorial Living Park.
Saat itu, Faisal sedang menjalankan tugas untuk mengantar sejumlah korban konflik ke tempat duduk yang disiapkan panitia.
Faisal bertugas secara resmi mewakili LSM PASKA Aceh berdasarkan mandat dari Kementerian Hukum dan HAM melalui surat tugas bernomor PDK-AH.01.05.17, tertanggal 26 Juni 2025.
Akibat pemukulan tersebut, menyebabkan telinga Faisal mengeluarkan darah, sehingga harus mendapatkan perawatan medis.
Berdasarkan rilis dikirim dikutip dari Serambinews.com, Kamis tadi malam, diketahui pelaku yang memukul Faisal berinisial FH, warga Gampong Bili, Kecamatan Glumpang Tiga.
“Saya mengecam keras insiden itu, sekaligus menyebutkan bahwa tindakan kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun,” kata Ketua PASKA Aceh, Farida Haryani dalam rilis dikirim, tadi malam.
Kata Faridah, tindakan kekerasan itu, apa pun alasannya, tidak bisa diterima.
Sebab, Faisal menjalankan tugas berdasarkan penugasan resmi dari negara. Kekerasan terhadap staf pendamping korban konflik adalah bentuk pengkhianatan terhadap proses pemulihan itu sendiri.
Farida mengungkapkan, bahwa insiden itu mencerminkan persoalan serius dalam mekanisme pendampingan korban yang dinilai tidak transparan.
Dikatakan dia, dalam kegiatan itu, sejumlah korban yang didampingi pihaknya adalah korban yang telah melalui proses BAP dilakukan Komnas HAM pada tahun 2016–2018.
Namun, informasi tersebut tidak disampaikan secara terbuka kepada publik.
“Inilah yang kami khawatirkan sejak awal. Ketika pemerintah tidak menjelaskan siapa yang didampingi dan pada tahap mana,” urai dia.
“Maka korban yang belum terakomodir namanya menjadi kecewa dan malah menyalahkan masyarakat sipil. Padahal tugas ini adalah kewajiban negara,” ujarnya.
Menurut Farida, kasus pemukulan terhadap Faisal harus diproses secara hukum.
Ini bisa menjadi peringatan supaya ke depannya, seluruh program pendampingan korban dilakukan secara terbuka dan adil.
Sehingga tidak membahayakan pekerja kemanusiaan yang menjalankan mandat negara.(*)