BidikIndonesia | Aceh Besar – Prototipe hijrah dalam konteks masa kini yang sangat diperlukan adalah hijrah dari kondisi tidak baik menjadi lebih baik, dari demoralisasi atau dehumanisasi menuju kehidupan moralis dan humanis.
Guru Besar Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag, menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jumat di Masjid As-Sajidin Komplek Tanjung, Kecamatan Ingin Jaya, 12 Juli 2024 bertepatan dengan 6 Muharam 1446 H.
“Hijrah masa kini adalah menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Meninggalkan pilar kehidupan jauh dari dimensi moralitas atau akhlak mulia dalam berkehidupan merupakan spirit hijrah yang harus dicapai dan diperioritaskan, bukan dalam makna hijrah perpindahan tempat semata, tetapi kering dengan perubahan moralitas terbaik,” unkapnya.
Menurut Prof Samsul Rijal, inilah momentum tahun hijriah dengan memperteguh falsafah hijrah dalam berkehidupan menjadi terbaik dan eksistensi berfaedah antar sesama manusia.
Ia menguraikan, Muharram adalah bulan pertama dari penanggalan tahun Hijriyah. Tahun hijriah memiliki dimensi historis terkait dengan Rasulullah bersama sahabat diperintahkan bergerak (hijrah) meninggalkan kota Mekkah menuju kota Yastrib, yaitu Madinatul Munawwarah.
“Menjelang memasuki bulan Muharram berarti telah berakir bulan Zulhijjah di tahun sebelumnya dan senantiasa bulan Muharram diperingati sebagai awal memasuki tahun baru umat Islam. Tahun baru Islam itu identik dengan sebutan tahun Hijriah,” tambahnya.
Lalu, Prof Samsul Rijal mengajak jamaah Jumat merenungkan, apa sebenarnya filosofi terkandung dalam peristiwa hijrah yang ditabalkan dengan Hijriyah. Ada beberapa paradigma terhadap hal ini diantaranya, pertama, hijrah dimaknai secara harfiah berasal dari bahasa Arab “hijrah” masdar dari “hajara” terkandung makna pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kedua, penyebutan “hijrah” merujuk kepada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 218, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
“Jadi makna hijrah disini diambil dari kata ‘haajara’ terkandung makna berpindah dari yang tidak baik kepada yang baik, dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Bagaimanapun juga falsafah hijrah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dari Makkah ke Madinatul Munawwarah berasal dari kata ‘haajara yuhaajiru muhaajiratan’ disebutkan hijrah,” sebutnya.
Prof Samsul Rijal menegaskan, falsafah hijrahnya karena ada pihak lain yang menolak manhajussama’ menolak kalimat tauhid mulia La ilaha illallah. Mereka jahiliah pada saat itu tidak ada persoalan dengan mengucapkan kalimat tersebut, tetapi implimentasi dari kalimat tesebut yang mereka tak sanggup pikul dan tidak menerimanya.
“Kalau sekadar mengucapkan semu orang bisa mengucapkan, tetapi untuk memahami makna ‘La ilaha illallah’ oleh dorongan ini mereka memaksa Nabi untuk keluar dari bumi Mekkah meskipun mereka serumpun,” pungkasnya.[Acehreportase]