Aceh Masih Hadapi Berbagai Tantangan

Aceh Masih Hadapi Berbagai Tantangan

Banda Aceh|BidikIndonesia.com – Akademisi sekaligus Antropolog Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, menilai 20 tahun perdamaian Aceh merupakan capaian yang patut disyukuri. Namun demikian, pentingnya merefleksikan tantangan yang masih dihadapi Aceh terutama di bidang kesejahteraan, tata kelola pemerintahan, dan partisipasi publik.

“Saya pikir pertama sekali kita wajib bersyukur. Usia perjanjian damai Helsinki yang sudah 20 tahun, merupakan perjalanan yang sangat panjang dan tidak gampang. Jika berkaca dengan perjanjian-perjanjian damai yang terjadi di negara-negara dan belahan benua lain, itu rata-rata sangat rentan. Jarang sekali ada yang mencapai usia 20 tahun seperti yang ada di Aceh,” kata Reza Idria.

Tak heran, kata dia, banyak negara yang mencoba melihat perjalanan perdamaian (road to peace) Aceh. Kemudian bagaimana Aceh membangun perdamaian (peace building) yang terus dijaga.

Dari perdamaian, kata dia, banyak hal yang dapat dibicarakan, seperti pemulihan dan membangun kesejahteraan serta ekonomi masyarakat.

“Karena tanpa ada damai, tidak ada pemulihan dan tanpa ada perdamaian tidak mungkin kita berbicara tentang membangun kesejahteraan, membangun ekonomi dan lain-lain,” ucapnya.

Bacaan Lainnya

Selain rasa syukur, tentu penting merefleksikan dan mengevaluasi kondisi Aceh pasca 20 tahun perdamaian. Menurut Reza masih banyak tantangan terkait kesejahteraan masyarakat Aceh. Apalagi Aceh yang selama ini selalu menduduki peringkat pertama sebagai provinsi termiskin.

Selain itu juga masih banyak potensi-potensi yang belum berhasil dioptimalisasikan di Aceh, misalnya status keistimewaan. Ia juga menilai status keistimewaan dan khususan Aceh  belum menjadi pengetahuan inklusif.

“Hari ini, misalnya, kita dengar dari para pakar hukum, mereka tentunya mengingat pasal-pasal tentang keistimewaan karena memang bidang studinyanya dan menjadi pengetahuan eksklusif. Namun jika ditanyakan kepada generasi muda tentang keistimewaan Aceh, pasti harus mencari referensi terlebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan keistimewaan Aceh belum menjadi pengetahuan yang inklusif,” ujar Reza.

“Kita hanya menguasai vocabulary kata istimewa dan khusus itu, tapi kekhususan dan keistimewaannya tidak,” sambungnya lagi.

Selain itu, Reza juga menyinggung terkait tata kelola pemerintahan. Menurutnya ketika berbicara kesejahteraan, kesehatan, dan angka kemiskinan sangat berbanding lurus dengan kemampuan menata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Sehingga 20 tahun seharusnya menjadi momen yang sangat penting untuk pemerintah merefleksi diri.

“Kok kita tidak bisa berangkat dari garis bawah ini terus, kan tidak mungkin kita ini hanya berbicara bahwa kita khusus terus. Ini angka 20 tahun. Kalau usia sekolah itu dari SD sudah tamat kuliah. Artinya untuk belajar dari keadaan itu seharusnya sudah cukup waktu,” ucapnya.

Menurutnya, meski Aceh setiap tahun menerima dana alokasi khusus dan anggaran lainnya, perbaikan kondisi daerah kerap terhambat oleh masalah akuntabilitas, transparansi, dan prioritas penggunaan anggaran. Menurutnya permasalahan ini juga didasari oleh publik yang tidak mengawal keistimewaan dan penggunaan anggaran.

“Kita jarang bertanya, dikemanakan uang publik itu? Berbeda dengan di negara-negara seperti Amerika atau Belanda, dana publik benar-benar dikawal masyarakat,” ujarnya.

Ia menilai, rendahnya partisipasi publik dalam mengawasi keistimewaan dan penggunaan anggaran Aceh juga disebabkan minimnya pendidikan kewargaan (civic education). Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap emosional ketimbang rasional dalam merespons isu pengelolaan dana publik.

Reza merekomendasikan kepada pemerintah agar memperbaiki tata kelola pemerintahan. Menyiapkan strategi menghadapi kemungkinan berakhirnya dana alokasi khusus pada 2027, terlebih dalam waktu singkat ini masih menunggu revisi UUPA.

Selain itu, ia merekomendasikan agar generasi muda perlu mendorong hadirnya kurikulum perdamaian di sekolah dan kampus agar nilai-nilai damai tidak hanya dipelajari secara informal.

Reza juga mengingatkan bahwa sentimen politik yang sering dimunculkan setiap momentum tertentu, tidak seharusnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.

“Kalau memang setia pada sentimen itu, tentu persepsi publik akan berbeda. Sayangnya, sering kali sentimen ini hanya untuk mengkapitalisasi dukungan publik atau politik, lalu setelah itu publik ditinggal sendiri,” ujarnya sembari menilai, retorika yang mendamaikan perlu dijaga secara konsisten oleh semua pihak, baik kalangan muda maupun politisi.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *