Rosita di Garis Senyap: Kisah Polwan Penjaga Damai Aceh

Rosita di Garis Senyap: Kisah Polwan Penjaga Damai Aceh

Banda Aceh|BidikIndonesia.com  – Dua dekade silam, suara senjata masih sesekali terdengar di pedalaman Aceh. Ketakutan seolah menjadi bahasa sehari-hari, terutama di desa-desa yang pernah menjadi titik panas konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan aparat keamanan.

Namun, di balik transisi rapuh pasca-penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, ada sosok-sosok yang diam-diam ikut menenun kembali ikatan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Salah satunya adalah seorang polisi wanita muda bernama Rosita Rahayu.

Ketika itu pangkatnya masih Brigadir Dua. Usianya baru 21 tahun. Namun Rosita—akrab disapa Oci, menjadi satu-satunya Polwan dari Polda Aceh yang dipercaya bergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM), tim pemantau internasional yang bertugas memastikan butir-butir perdamaian berjalan di lapangan.

Bertugas di bidang Intelkam, Rosita kerap dikirim ke daerah yang baru saja keluar dari pusaran kekerasan: Pidie, Lhokseumawe, hingga Aceh Timur. Hampir setiap hari, ia menapaki jalan desa, mendengar cerita warga, dan menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan aparat.

“Waktu itu, rasa takut kami kubur dalam-dalam. Yang penting Aceh damai, masyarakat aman,” kenang Rosita di Banda Aceh.

Bacaan Lainnya

Tugasnya jelas tidak ringan. Ia bekerja di bawah komando Kombes Pol. Arief Wicaksono—yang kini menjabat Ketua Harian Kompolnas—serta Iptu Muhayat Effendi yang kini menjadi Wakapolres Aceh Utara. Rosita belajar bahwa di tengah kecurigaan yang masih mengental, pendekatan humanis jauh lebih ampuh ketimbang kekuatan senjata.

Kehadiran Rosita membawa warna berbeda dalam tim. Sebagai satu-satunya perempuan, ia kerap dipercaya untuk mendekati masyarakat, terutama kelompok perempuan dan anak-anak yang trauma dengan masa lalu.

Ia tidak hanya menjadi pengawas MoU, melainkan juga jembatan yang menumbuhkan kembali rasa percaya. Dalam dirinya, masyarakat melihat wajah Polri yang ramah, bukan menakutkan.

“Pendekatan yang tenang dan mau mendengar itu kunci,” katanya.

Dua puluh tahun berselang, Rosita masih setia mengenakan seragam cokelat. Kini, ia bertugas di Bidang Humas Polda Aceh. Perannya berbeda, tapi semangatnya tetap sama: menjadi penghubung antara institusi dengan masyarakat. Jika dulu ia menjembatani perdamaian, kini ia menjembatani arus informasi.

Pada Selasa, 23 September 2025, Rosita kembali mendapat pengakuan. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menganugerahkan piagam penghargaan kepadanya, sebagai apresiasi atas peran strategis dalam menjaga perdamaian Aceh. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono, di Aula Machdum Sakti Polda Aceh.

Selain Rosita, penghargaan serupa juga diberikan kepada Kompol Muhayat Effendie, AKP Maijoni, dan AKP Aziz dari jajaran Polri. Dari unsur sipil, penerimanya adalah Ir. Muklis dan Fatma Baiduri, ASN Pemerintah Aceh.

Bagi sebagian orang yang mengenalnya di masa transisi, Rosita adalah simbol wajah baru Polri: humanis, rendah hati, dan berani. Sosok yang hadir bukan dengan senjata, melainkan dengan keberanian untuk mendengarkan dan merangkul.

Rosita bukan sekadar saksi perjalanan damai Aceh. Ia bagian dari proses perubahan itu sendiri. Dari jejaknya, kita belajar bahwa kekuatan tidak selalu lahir dari moncong senjata, melainkan dari ketulusan hati untuk hadir dan menjembatani.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *