Aceh Utara|BidikIndonesia.com – PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional 6 diduga mengkriminalisasi warga yang menuntut penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat di 19 gampong wilayah Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timu, Aceh Utara. Hal tersebut disampaikan Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, yang mengatakan kriminalisasi terjadi setelah ratusan masyarakat melakukan aksi sejak 27 September hingga 6 Oktober 2025.
“Kami mendesak agar perusahaan segera menghentikan segala proses kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidup mereka,” kata Qodrat, Minggu, 23 November 2025.
Dia menyebutkan aksi kriminalisasi itu berawal dari kejadian pemblokiran jalan akses pengangkut sawit milik PTPN IV di Desa Tempel, Kecamatan Cot Girek. Dalam aksi itu, warga menduga PTPN IV Regional 6 telah menyerobot lahan hingga dua kali lipat dari 7.500 hektare luas Hak Guna Usaha (HGU).
Menurut Qodrat, pada hari kelima aksi atau bertepatan 1 Oktober 2025 pukul 11.00 WIB, massa yang masih memblokir jalan dengan melakukan zikir bersama didatangi seorang pekerja perusahaan bernama A. Ia diduga memasuki kerumunan massa, mencoba memprovokasi dan kemudian menarik ketua aliansi massa aksi, Dwijo Warsito.
“Massa aksi menghalangi tindakan tersebut dan mendorong A keluar dari kerumunan massa. Setelah kejadian ini, A membuat laporan ke Polres Aceh Utara dengan tuduhan masyarakat melakukan pengeroyokan terhadap dirinya,” ujarnya.
Polres Aceh Utara, sambung Muhammad Qodrat, memproses laporan tersebut dengan dugaan tindak pidana pengeroyokan. Pada 14 November 2025, lima orang mendapatkan surat panggilan pertama sebagai tersangka, dan salah satunya adalah warga yang mengambil video kejadian.
“Namun, masyarakat menolak hadir karena tidak pernah diperiksa sebelum pemanggilan sebagai tersangka,” tuturnya.
Buntutnya, tambah Muhammad Qodrat, pada 21 November 2025, pihak kepolisian kembali mengirimkan surat panggilan tersangka kepada dua warga agar hadir ke Polres Aceh Utara pada Senin, 24 November 2025. Mereka diminta untuk memberikan keterangan sebagai tersangka.
LBH Banda Aceh menilai hal ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan ruang hidup dan hak atas tanah mereka. Alih-alih menyelesaikan sengketa sebagaimana tuntutan masyarakat, perusahaan malah balik mengkriminalisasi masyarakat yang tengah menuntut haknya.
“Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober tersebut bukanlah perbuatan pidana sebagaimana dituduhkan oleh perusahaan yang kemudian, celakanya, diamini dengan baik (bahkan tanpa melakukan proses penyelidikan sekalipun) oleh Polres Aceh Utara,” kata Muhammad Qodrat.
Muhammad Qodrat menilai penetapan tersangka secara sepihak tersebut menunjukkan tidak profesionalnya Polres Aceh Utara dalam menangani suatu perkara. Dia bahkan menduga Polres Aceh Utara berpihak pada PTPN IV dalam konflik agraria tersebut.
“Patut diduga, demi memihak pada PTPN IV, Polres Aceh Utara dengan seenak hatinya main potong kompas begitu saja. Masyarakat langsung dijadikan tersangka tanpa melakukan penyelidikan. Ini lucu, dan sudah sepatutnya juga hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian khusus Komisi Reformasi Polri,” kata Muhammad Qodrat.
YLBHI-LBH Banda Aceh mendesak Polres Aceh Utara segera menghentikan proses hukum atas perkara tersebut. Menurut Qodrat, perbuatan yang dilaporkan perusahaan bukanlah tindak pidana.
Muhammad Qodrat juga mendesak pemerintah daerah segera merespons tuntutan dari masyarakat terkait konflik agraria yang sedang terjadi di 19 Desa, Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timur, Aceh Utara.***
