MENJADI GURU COACH, “Mengajari membuat orang jadi pintar. Bertanya menjadikan orang terSADARkan”. (Lailan F. Saidina)

MENJADI GURU COACH, “Mengajari membuat orang jadi pintar. Bertanya menjadikan orang terSADARkan”. (Lailan F. Saidina)
MENJADI GURU COACH "Mengajari membuat orang jadi pintar. Bertanya menjadikan orang terSADARkan”. (Lailan F. Saidina). Lhokseumawe, 02 September 2025. Foto: Dok pribadi lailan

LHOKSEUMAWE | bidikindonesia.com,

Pernahkah Anda mengalami momen ketika sebuah pertanyaan sederhana membuat Anda harus merenung panjang? Sebagian orang yang saya kenal mengaku bukan hanya merenung, bahkan mampu mengubah jalan hidupnya.

Mengapa? Karena  pertanyaan memiliki kekuatan yang sering kali lebih dahsyat daripada jawaban. Mengajar memang membuat orang pintar, tetapi bertanya membuat orang tersadarkan.

Pintar VS Sadar

Dalam dunia pendidikan konvensional, guru sering berfokus pada kepintaran. Misalnya, seberapa cepat seseorang menguasai rumus matematika, menghafal sejarah, atau memecahkan soal ujian. Padahal, pintar tidak selalu identik dengan sadar.

Bacaan Lainnya

Contoh konkritnya begini, orang pintar bisa menghafal teori ekologi, tetapi tetap membuang sampah sembarangan. Orang pintar bisa menguasai ilmu ekonomi, tetapi masih serakah dalam mencari keuntungan. Atau, orang pintar bisa fasih bicara etika, tetapi tidak mampu berlaku jujur dalam kehidupan nyata.

Itu sebabnya kesadaran berbeda dengan kepintaran. Kesadaran adalah pengetahuan yang menyentuh hati, bukan sekadar menyapa akal.

Psikologi pendidikan membedakan surface learning (belajar permukaan) dengan deep learning (belajar mendalam). Belajar permukaan terjadi saat siswa hanya mengingat informasi untuk kepentingan ujian. Sementara belajar mendalam terjadi saat siswa mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan nyata.

Penelitian Marton & Saljo (1976) menemukan bahwa siswa yang diajak bertanya dan berdialog cenderung mengalami deep learning, karena mereka tidak hanya tahu apa, tetapi juga mengapa dan bagaimana.

Guru yang mampu mengajukan pertanyaan yang tepat akan mendorong siswa tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga sadar secara eksistensial. Karena pertanyaan adalah jembatan kesadaran.

Sejarah dunia menyuguhkan kepada kita banyak contoh bagaimana pertanyaan mampu melahirkan kesadaran. Saya sebut saja diantaranya, Socrates menggunakan metode bertanya (Socratic method) untuk membuat murid-muridnya menemukan kebenaran sendiri. Dan belakangan metode Socrates ini menjadi rujukan sekaligus telah diadopsi dalam dunia pengembangan diri modern seperti coaching.

Untuk menemukan keyakinannya kepada Allah Sang Pencipta, Nabi Ibrahim bertanya tentang bintang, bulan, dan matahari, hingga ia menemukan keyakinan sejati kepada Allah (QS. Al-An’am: 76–79).

Begitupun dengan para sufi, mereka sering mengajukan pertanyaan retoris kepada muridnya agar mereka merenung, bukan sekadar menerima jawaban mentah.

Menurut penelitian dari Harvard Business School (2017), orang yang banyak bertanya dalam interaksi sosial dianggap lebih cerdas dan menarik dibanding mereka yang hanya memberi pernyataan. Mengapa? Karena bertanya menunjukkan kerendahan hati dan keinginan untuk belajar.

Dalam psikologi eksistensial, pertanyaan memiliki dimensi yang lebih dalam. Berbeda dengan pertanyaan guru untuk menguji kemampuan siswa saat ujian, pertanyaan seperti: “Apa tujuan hidupmu?”, “Mengapa kamu merasa hampa meski sudah sukses?”, “Apa arti kebahagiaan sejati?” dan sejenisnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak sekadar melatih otak, tetapi membangunkan kesadaran spiritual (kebermaknaan).

Dalam tradisi sufisme, berkesadaran (ma’rifah) lebih utama daripada sekadar pengetahuan (‘ilm). Seorang murid bisa tahu seribu definisi tentang ikhlas, tapi baru benar-benar sadar tentang ikhlas ketika ia mengalaminya dalam hati. Selamat Hardikda 2025. []

Salam potensi,

Penulis:
Lailan F. Saidina
Certified Trainer BNSP & Life Coach – Alumni TOT FPM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *