Maknai Kebebasan Pers, Stop Pelecehan Karya Tulis

Maknai Kebebasan Pers, Stop Pelecehan Karya Tulis

LANGSA, Bidikindonesia.com Terkait adanya komentar pada sebuah grup WhatsApp di Kabupaten Bener Meriah, tidak ada salahnya kita membahas sedikit, agar Bapak terhormat yang membuat komentar bahwa UKW sebagai tolak ukur untuk membangun jejaring dan berani mengatakan sebuah berita tidak layak tayang, menurut hemat saya si pengomentar salah minum obat.

Begini, mungkin ilmu sipenulis terlalu dangkal makanya penulis mencoba mereferensikan beberapa tulisan untuk sama-sama kita bahas, layak kah seseorang menilai pemberitaan seseorang tidak layak.

Sebelum kita coba mengulas ada baiknya kita kilas balik dulu pada sebuah sejarah, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Apa itu kebebasan pers?.

Hari Kebebasan Pers Sedunia bertindak sebagai pengingat bagi pemerintah untuk menghormati komitmen mereka terhadap kebebasan pers. Hari peringatan ini juga merupakan momen refleksi di kalangan profesional media tentang isu-isu kebebasan pers dan etika profesi.

Bacaan Lainnya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebebasan pers merupakan kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media massa. Sedangkan menurut kamus Merriam-Webster, kebebasan pers merupakan hak media massa untuk menginformasikan berita secara bebas tanpa kendali pemerintah.

Laman News Media Association mengatakan bahwa kebebasan pers merupakan hal yang penting untuk dipertahankan karena pers merupakan platform untuk menyuarakan berbagai macam informasi. Di tingkat nasional, regional dan lokal, pers merupakan pengawas publik, aktivis, penjaga serta pendidik, penghibur, dan penulis sejarah kontemporer.

Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi. Oleh karena itu, sebagai mata dan telinga masyarakat, jurnalis harus mampu menyuarakan kepentingan publik dengan berani tanpa khawatir ditahan atau digugat.

(Batasan Kebebasan Pers) Namun, sama seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers juga tidak absolut. Menurut laman New World Encyclopedia, selalu ada batasan yang menyertai kebebasan pers baik secara prinsip maupun praktis. Batasan atau peringatan tersebut berbentuk kode etik yang harus dipatuhi oleh awak media untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.

Menurut buku ‘Mengelola Kebebasan Pers’ (2008) oleh Lukas Luwarso dkk, kebebasan pers di Indonesia dijamin dan dilindungi secara tegas dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40/1999). Sejumlah pasal penting dalam UU tersebut yaitu:

Pasal 2: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 4: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (1); Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (2); Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (3); Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (4).

Pasal 18: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (2) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Menurut laman Universitas Muhammadiyah Malang, kebebasan pers merupakan kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip, dan nilai yang bersifat naluri kemanusiaan dimanapun manusia berada. Nilai kemanusiaan tersebut merupakan naluri untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada orang lain sebagai pribadi yang suaranya ingin diperhitungkan dan menegaskan eksistensinya.

Dalam buku ‘Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam’ (2009) oleh Faris Khoirul Anam, disebutkan beberapa contoh kebebasan pers, yaitu:

1.(Kebebasan Berpikir) Kebebasan berpikir merupakan salah satu hak asasi manusia untuk menyelidiki dan mengembangkan sesuatu untuk mencapai suatu kebenaran. Dalam pers, kebebasan berpikir diperlukan untuk melakukan riset, diskusi, dan sejenisnya sebagai langkah untuk memvalidasi kebenaran suatu informasi atau fenomena.

2. (Kebebasan Berpendapat) Kebebasan berpendapat merupakan hak pers untuk memiliki dan menyuarakan pendapat tanpa gangguan. Kebebasan berpendapat juga diperlukan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apapun dengan tidak memandang batas-batas wilayah selain kode etik.

Jadi setelah membaca semua aturan yang ada, layak kah seorang jurnalis mengatakan karya seorang jurnalistik tidak layak?

Atau jangan-jangan dirinya sendiri yang tidak faham akan etika jurnalistik?

Bagaimana menjustifikasi sebuah karya tulis sementara ia sendiri tidak faham akan kejadian karya tulis itu sendiri, seharusnya bila ia seseorang yang profesional ada baiknya mengkonfirmasi rekannya yang ada didaerah tempat kejadian perkara, setelah mendapatkan konfirmasi baru bisa berkomentar. Bukan dengan gampang mengatakan berita seseorang tidak layak.

Jadi mulai hari ini stop cerita-cerita yang proprokatif, yang perlu di garis bawahi, bahwa induk seluruh organisasi pers dan juga induk perusahaan media adalah dewan pers. Terlepas dari sudah diakui, atau sudah diverifikasi atau belum. Bagaimana profesi ini mau disegani atau di setarakan dengan profesi-profesi yang sudah kuat, sementara diri kita sendiri masih saling jegal menjegal, jelek menjelekan. Penulis berharap tidak ada salahnya bila kita bersatu untuk tujuan yang sama jangan takut sebuah ilmu akan hilang bila kita memberikannya kepada orang lain, percayalah semakin sering kita berbagi informasi dan ilmu semakin bertambah pula pengetahuan dan ilmu kita. Wallahu hualam bisawab.[1Kabar]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *