Banda Aceh|BidikIndonesia.com – Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, mengungkapkan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Aceh meningkat drastis sebesar 275 persen dalam rentang waktu lima tahun terakhir, terhitung sejak 2020 hingga 2024.
Angka ini mencakup kebakaran di lahan gambut dan wilayah lainnya.
“2024 merupakan tahun dengan angka kebakaran tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Di Sumatera, Aceh menduduki peringkat ketiga dengan karhutla terbanyak.
Ini merupakan bencana nyata yang dapat kita rasakan melalui cuaca yang semakin panas,” kata Afifuddin dalam seminar bertajuk Gambut Bicara Satwa Bersuara: Apa Kabar Gambut Aceh?, yang digelar di Ruang Teater UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Afifuddin menjelaskan bahwa ekosistem gambut memiliki peran penting sebagai penyerap karbon, pengendali banjir, habitat satwa liar, hingga sumber penghidupan masyarakat.
Namun, kondisi saat ini justru menunjukkan bahwa kawasan gambut menjadi wilayah dengan tingkat deforestasi dan potensi kebakaran tertinggi.
Ia memaparkan bahwa beberapa kawasan gambut yang paling kritis di Aceh berada di Rawa Tripa, Rawa Singkil, serta wilayah Aceh Barat dan Aceh Jaya daerah-daerah yang rentan terhadap kebakaran dan alih fungsi lahan.
“Kebakaran terus berulang bahkan di lokasi yang sama.
Kita belum memiliki skema yang efektif untuk mencegahnya.
Ini menjadi ancaman serius, tidak hanya bagi gambut, tapi seluruh ekosistem hutan Aceh,” kata dia.
Afifuddin juga menyebutkan dua Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) yang saat ini dalam kondisi memprihatinkan, yakni KHG Krueng Teunom–Lambalak dan KHG Krueng Bubon–Krueng Meureubo.
Dari data WALHI, konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit di dua wilayah ini telah mencapai 54 persen, sementara tutupan semak belukar hanya tersisa 17 persen.
Ketiadaan infrastruktur pengendalian karhutla di kedua KHG tersebut, menurut Afifuddin, menjadi penyebab utama meningkatnya kebakaran dalam lima tahun terakhir.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dan inkonsistensi tata ruang sebagai faktor yang memperparah situasi.
“Kami menyerukan agar pendekatan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan ditegakkan secara adil dan tidak diskriminatif.
Percepatan restorasi gambut serta pelibatan aktif masyarakat adalah kunci keberlanjutan dan keadilan ekologis,” tegasnya.***