Korban Kasus Dugaan Penipuan Modus Pangkalan Gas Akan Bawa Musannif dan Saiful Haris ke Jalur Hukum

Korban Kasus Dugaan Penipuan Modus Pangkalan Gas Akan Bawa Musannif dan Saiful Haris ke Jalur Hukum

Banda Aceh | Bidik Indonesia Dalam konferensi pers di Warung Kopi Sekber, Banda Aceh, Rabu (13/8/2025), sejumlah korban dugaan penipuan dengan modus kemitraan pangkalan gas resmi Pertamina menyatakan akan membawa Musannif, tokoh politik yang pernah maju sebagai calon Bupati Aceh Besar, dan Saiful Haris ke jalur hukum. Langkah ini diambil setelah penyidik Polda Aceh menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan tidak ditemukan tindak pidana pada tuntutan penipuan terhadap PT Energi Sentosa Aceh (PT ESA).

Data yang dihimpun korban menunjukkan sedikitnya 22 orang menjadi korban, dengan dugaan jumlah sebenarnya lebih dari 25 orang. Kerugian total ditaksir melebihi Rp1 miliar. Para korban mengaku diiming-imingi bisa mendapatkan pangkalan gas resmi melalui PT ESA, yang disebut-sebut terafiliasi dengan Pertamina. Untuk mendapatkannya, mereka diminta menyetor uang mulai Rp30 juta hingga Rp120 juta.

“Semua proses dilakukan di kantor perusahaan, ada kwitansi dan stempel resmi, bukan di warung kopi atau tempat sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya kami percaya ini resmi, bukan abal-abal,” ujar Yulindawati, perwakilan korban.

Namun, sampai hari ini, pangkalan gas yang dijanjikan tidak pernah terdaftar secara resmi di Pertamina. Beberapa korban sempat menerima tabung gas, sebagian lainnya tidak mendapat apa-apa. Sebelumnya, hanya tiga korban yang berani melapor ke polisi, sementara korban lain memilih diam karena khawatir terjerat hukum. Kekhawatiran itu muncul setelah kuasa hukum mereka menyatakan status penjualan gas yang mereka lakukan dianggap ilegal.

Kali ini, seluruh korban sepakat akan maju bersama. Mereka menegaskan, jika penjualan gas yang dilakukan dianggap ilegal, maka PT ESA juga harus dijerat, karena perusahaan inilah yang memberikan pasokan gas tersebut kepada para korban.

Bacaan Lainnya

“Setahu kami, semua korban sudah memberi uang untuk mendapatkan status pangkalan gas resmi dari Pertamina melalui PT ESA. Jadi kalau kami disalahkan, perusahaan juga harus bertanggung jawab,” kata Yulindawati.

Musannif sendiri pernah mengklaim bahwa Saiful Haris bukan bagian dari manajemen PT ESA. Namun, menurut Yulindawati, klaim itu tidak masuk akal mengingat seluruh kegiatan transaksi dilakukan di kantor perusahaan. Ia menyebut Saiful Haris memiliki kartu nama, menggunakan nomor telepon perusahaan yang tercatat di dokumen resmi PT ESA, tertera sebagai kontak pada dokumen kemitraan pangkalan gas, serta mengoperasikan mobil operasional perusahaan.

Salah satu bukti kwitansi pembayaran yang telah dikirimkan korban ke Saiful Haris. (Amira Layyina/Bidik Indonesia)

“Jelas dia bagian dari perusahaan. Semua kunci urusan ada di dia,” tegasnya.

Yulindawati juga mengungkap bahwa seluruh nomor registrasi pangkalan yang diberikan kepada korban memiliki kode sama, yaitu “017”, dan surat kontrak yang dibagikan ternyata bodong.

Selain itu, ia menduga dana yang disetorkan para korban tidak sepenuhnya digunakan untuk proses perizinan pangkalan gas. “Kami curiga sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk kemungkinan membiayai kampanye dan operasional politik Musannif,” ujarnya.

Para korban mengaku telah berkomunikasi dengan keluarga Saiful Haris. Dari keterangan keluarga, sebelum dipecat oleh Musannif, Saiful Haris disebut diberi tiga pilihan: membayar kerugian, masuk penjara, atau melarikan diri. Saiful Haris kemudian memilih melarikan diri.

Atas keputusan pemberhentian penyidikan terhadap dugaan penipuan oleh PT ESA, seluruh korban sepakat membuat laporan ulang ke Polda Aceh dengan bukti yang lebih lengkap. Mereka juga akan menuntut Musannif dan Saiful Haris secara langsung, serta menempuh gugatan perdata untuk meminta ganti rugi dari PT ESA. Yulindawati menegaskan, baik Musannif maupun Saiful Haris harus bertanggung jawab penuh dalam kasus ini.

Kasus ini bermula sejak pertengahan 2023, menjelang pemilihan kepala daerah, dan hingga kini belum menemui titik terang. Tiga korban bahkan berasal dari badan usaha milik gampong yang menggunakan dana desa untuk membayar setoran pangkalan gas tersebut. Para korban berharap aparat penegak hukum dapat bertindak netral dan tidak terpengaruh oleh status sosial atau politik pihak-pihak yang diduga terlibat.[mia]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *