Kenapa Dokter, Dosen, dan Polisi Justru Jadi Pelaku Kekerasan Seksual?

Kenapa Dokter, Dosen, dan Polisi Justru Jadi Pelaku Kekerasan Seksual?

BidikIndonesia.com – Dalam beberapa bulan terakhir, kasus kekerasan seksual terus bermunculan di berbagai wilayah Indonesia.

Namun selain faktor pemicu, ada pula faktor penarik, yakni peluang dan lemahnya pengawasan.

Kondisi ini mempertegas perlunya sistem perlindungan dan pengawasan yang kuat, terutama di lingkungan yang memiliki ketimpangan kuasa tinggi antara individu, seperti rumah sakit, kampus, institusi keagamaan, dan kepolisian.

Ironisnya, kejahatan ini tak lagi mengenal batas usia, menimpa orang dewasa hingga anak-anak.

Hal yang lebih memprihatinkan, banyak dari kasus tersebut terjadi dalam relasi kekuasaan, yakni dilakukan oleh orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung dan teladan.

Bacaan Lainnya

Sebut saja Kapolres Ngada AKBP Fajar yang dilaporkan mencabuli tiga anak di bawah umur di NTT. Lalu ada Guru Besar UGM, Prof Edy Meiyanto, yang dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya.

Kasus serupa juga terungkap di lingkungan pondok pesantren, hingga yang terbaru, pemerkosaan oleh dokter PPDS Unpad di RS Hasan Sadikin, Bandung dengan korban keluarga pasien.

Mengapa mereka tega melakukan kekerasan seksual?  

Psikolog forensik Reza Indragiri menjelaskan, bahwa tak ada jawaban sederhana mengenai mengapa seseorang bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.

Namun, ia menyebut ada tiga pendekatan teori yang bisa digunakan untuk memahami fenomena ini, khususnya yang berbasis relasi kuasa.

Pertama, pendekatan feminis menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.

“Power asymmetry alias relasi kuasa yang tidak berimbang itulah yang menjadi penyebab mengapa ada pelaku, mengapa ada korban,” kata Reza saat diminta pandangan Kompas.com pada Minggu (13/3/2025).

Kedua, teori sosial melihat fenomena ini sebagai produk dari industri hiburan dan media yang sudah terlalu sering menampilkan narasi vulgar hingga membuat publik kehilangan sensitivitas terhadap nilai-nilai sakral seputar seksualitas.

Ketiga, dari sudut pandang teori evolusi, kekerasan seksual bisa dilihat sebagai dorongan primitif untuk mempertahankan keturunan, meski jelas tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun moral.

Faktor pendorong 

Dalam kasus dokter PPDS Unpad pemerkosa keluarga pasien, Reza menyebut bahwa faktor pekerjaan bisa turut memengaruhi.

Menurutnya, profesi seperti dokter dikenal memiliki beban kerja tinggi, jam kerja panjang, rutinitas membosankan, dan tekanan mental yang besar.

“Dalam situasi seperti itu, seks bisa dianggap sebagai bentuk kompensasi atas kejenuhan yang menumpuk,” jelas Reza.

Reza mengatakan, degradasi moral dalam beberapa tahun terakhir bisa membuat pelaku merasa punya ruang untuk bertindak, apalagi saat etika tak lagi dijunjung tinggi dan sistem pengawasan melemah.

“Ketika etika ditinggalkan dan pengawasan longgar, di situlah celah dimanfaatkan oleh pelaku untuk mencari kepuasan pribadi, bahkan lewat cara yang melanggar hukum,” ujar Reza.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *