Dr. Raisatul Gebrina, yang turut terlibat sebagai narasumber dan fasilitator dalam workshop pelatihan Rapai Uroh yang digelar selama 2 hari, 29 hingga 30 April 2025, bertempat di Museum Kota Lhokseumawe, Rabu, 30 April 2025. Foto: Dok bidik indonesia
LHOKSEUMAWE | bidikindonesia.com – Dalam momentum Pagelaran Rapai Uroh yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Bidik Indonesia berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu budayawan Aceh terkemuka, Dr. Raisatul Gebrina, yang turut terlibat sebagai narasumber dan fasilitator dalam workshop pelatihan Rapai Uroh yang digelar selama 2 hari, 29 hingga 30 April 2025, bertempat di Museum Kota Lhokseumawe, Rabu, 30 April 2025. Foto: Dok bidik indonesia
Dr. Raisatul Gebrina adalah akademisi sekaligus pelatih seni tradisional yang telah lebih dari satu dekade konsisten mengembangkan dan melestarikan budaya Aceh, khususnya seni pertunjukan Rapai Uroh. Dalam wawancara yang berlangsung seusai workshop, beliau mengutarakan pandangannya yang mendalam mengenai pentingnya regenerasi dan inovasi dalam pelestarian budaya lokal.
“Rapai Uroh bukan hanya tentang seni pertunjukan. Ia adalah bentuk ekspresi spiritual dan sosial yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita. Kalau tidak diwariskan dengan kesadaran budaya, ia akan tinggal sebagai tontonan sesaat,” ujarnya dengan tegas.
Dr. Raisatul menilai bahwa tantangan utama saat ini bukan hanya pada minimnya panggung pertunjukan, tetapi pada kurangnya ruang edukasi dan pembinaan bagi generasi muda. Oleh karena itu, dalam workshop yang ia pandu, peserta tidak hanya diajarkan teknik dasar permainan dan koreografi Rapai Uroh, tetapi juga filosofi dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
“Kita perlu menanamkan makna di balik setiap pukulan Rapai, setiap gerakan tubuh, dan lirik syair. Di sanalah nilai pendidikan budayanya. Anak-anak muda akan mencintai seni ini jika mereka paham substansinya,” jelasnya.
Selama workshop, Dr. Raisatul membina para peserta dari berbagai grup Rapai Uroh dengan pendekatan dialogis dan partisipatif. Ia menyambut baik antusiasme peserta yang menurutnya menjadi indikator kuat bahwa seni ini masih memiliki masa depan—asal difasilitasi dengan baik.
Ia juga menyarankan agar pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan tidak hanya menggelar pertunjukan tahunan, tetapi juga menciptakan pusat latihan Rapai Uroh di tingkat gampong dan sekolah, serta mengintegrasikan seni ini dalam kurikulum lokal.
“Kita tidak boleh membiarkan budaya ini hidup hanya di acara seremonial. Rapai Uroh harus hadir dalam ruang-ruang pendidikan, keluarga, dan komunitas. Ia harus dirasakan, dimainkan, dan dipahami sehari-hari,” tambahnya.
Dr. Raisatul mengakhiri wawancara dengan harapan besar bahwa upaya bersama dari pemerintah, komunitas seni, dan masyarakat dapat menjaga nyala Rapai Uroh di tengah tantangan zaman.
“Saya yakin, selama ada semangat untuk menjaga jati diri, Rapai Uroh akan tetap hidup dan bahkan berkembang. Bukan hanya di Aceh, tapi bisa mendunia sebagai warisan budaya tak benda yang luar biasa,” pungkasnya.
Wawancara eksklusif ini menjadi penegasan bahwa pelestarian budaya membutuhkan peran aktif semua pihak—tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dan pewaris.