Sekretaris Wilayah DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, Adhifatra saat memberikan keterangan Mengecam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, di Daphu Kupi, Banda Aceh, Senin (26/5/2025), didampingi pengurus DPD SWI Kota Banda Aceh. Foto: Dok bidik indonesia
BANDA ACEH | http://bidikindonesia.com – Sekretaris Wilayah DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM, C.EML, angkat suara terkait penetapan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara.
Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara.
Menurut Adhifatra, keputusan tersebut mencerminkan bentuk pengabaian terhadap sejarah, fakta administratif, dan kedaulatan wilayah Aceh.
“Ini bukan sekadar persoalan batas wilayah, tetapi menyangkut martabat dan integritas Aceh sebagai daerah dengan kekhususan. Keputusan ini jelas tidak mencerminkan keadilan dan mengabaikan rekam jejak administratif bahwa keempat pulau itu secara historis berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil,” tegas Adhifatra, saat memberikan keterangan di Daphu Kupi, Banda Aceh, Senin (26/5/2025), didampingi pengurus DPD SWI Kota Banda Aceh.
DPW SWI Aceh, lanjutnya, menyatakan penolakan tegas terhadap keputusan tersebut dan mendukung penuh langkah-langkah hukum dan administratif yang diambil Pemerintah Aceh dan DPRA untuk memperjuangkan kembalinya pulau-pulau itu ke wilayah Aceh.
Adhifatra juga menekankan pentingnya momentum ini sebagai penguat konsolidasi seluruh elemen masyarakat Aceh, termasuk insan pers, untuk menjaga kepentingan daerah.
“Kami mengimbau seluruh wartawan, khususnya anggota SWI, agar terus mengawal isu ini secara independen, kritis, dan tetap berpegang pada kebenaran. Kini saatnya media menjadi alat perjuangan rakyat Aceh,” ujarnya.
Ia juga meminta Mendagri membuka ruang dialog terbuka yang melibatkan tokoh adat, pemerintah daerah, dan akademisi, agar polemik ini tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
“Keputusan sepenting ini tidak bisa diambil secara sepihak tanpa proses musyawarah yang adil. Kami menuntut transparansi dan akuntabilitas atas dasar semangat kebangsaan dan menjaga keutuhan daerah,” tutupnya.