Banda Aceh|BidikIndonesia.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Khalid, memastikan pelajar asing yang menuntut ilmu di Aceh dilindungi penuh oleh pemerintah daerah. Pernyataan ini disampaikan saat ia menyambut kedatangan mahasiswa asal Thailand di Museum Rumoh Manuskrip Aceh, Banda Aceh.
“Kalian yang belajar di Aceh dipastikan aman dan terlindungi. Pemerintah Aceh berkomitmen memberikan perlindungan terbaik bagi kalian,” ujar Khalid.
Dalam pertemuan itu, para mahasiswa mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap keberadaan mahasiswa asing di Aceh. Khalid menyikapi hal tersebut dengan serius.
“Sebagai daerah dengan status kekhususan, jaminan perlindungan pemerintah terhadap pelajar asing yang menuntut ilmu di Aceh harus menjadi program prioritas yang dirancang secara khusus,” ujarnya.
Menurut Khalid, peran Aceh sebagai wilayah dengan keistimewaan khusus, terutama dalam penerapan Syariat Islam dan pendidikan, membuat perhatian terhadap mahasiswa asing menjadi sangat penting. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi mahasiswa kepada pimpinan DPRA dan instansi terkait di Pemerintah Aceh.
“Pemerintah Aceh perlu merancang program-program khusus yang memprioritaskan perlindungan dan pembinaan bagi pelajar asing. Selain itu, saya juga akan mengundang mereka dalam berbagai kegiatan sosial ke depan agar semakin mempererat hubungan,” kata Khalid.
Selama pertemuan, beberapa mahasiswa menanyakan mengenai sejarah konflik Aceh, isi MoU Helsinki, serta status Otonomi Khusus (Otsus) Aceh. Khalid dengan gamblang menjelaskan berbagai informasi tersebut, memperlihatkan pemahaman mendalam mengenai konteks sejarah dan politik Aceh.
Mahasiswa asal Thailand dan perantau lainnya di Aceh, menurut Khalid, harus dihormati dan dimuliakan sebagai bagian dari budaya lokal. “Peumulia jamee adalah adat orang Aceh. Kalian adalah saudara kami,” kata dia.
Khalid juga menyampaikan apresiasi kepada mahasiswa Thailand yang memilih Aceh sebagai tempat menuntut ilmu. Ia menyambut gembira kabar bahwa jumlah mahasiswa asing yang belajar di Aceh, khususnya di Universitas Syiah Kuala (USK), semakin meningkat.
“Dulu, saat saya kuliah pada era 1990-an, mahasiswa Malaysia dan Thailand hanya belajar di IAIN Ar-Raniry. Kini, mereka banyak yang belajar di Fakultas Kedokteran, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK,” ujar Khalid.
Sementara itu, Direktur Museum Rumoh Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid, menjelaskan alasan penyambutan mahasiswa di museum.
“Kami ingin mereka dapat melihat langsung peninggalan budaya Aceh yang kaya dan beragam. Ini juga kesempatan untuk memahami sejarah dan hubungan budaya Aceh dengan wilayah Melayu lainnya seperti Pattani dan Brunei Darussalam,” ujarnya.
Tarmizi menambahkan bahwa hanya Brunei Darussalam yang kini masih mempertahankan status sebagai negara Islam Melayu.
Di kesempatan yang sama, Wan Hasnah, mahasiswa Farmasi USK, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas perhatian parlemen Aceh dan Museum Rumoh Manuskrip Aceh. Meskipun berlatar belakang Farmasi, Wan Hasnah tertarik mendalami sistem budaya dan politik Aceh.
“Saya merasa sangat beruntung mendapat kesempatan berbicara langsung dengan anggota DPRA Khalid dan belajar lebih dalam tentang Aceh,” ujarnya.***