Bara Konflik di Maktab UGP Takengon

Bara Konflik di Maktab UGP Takengon

TAKENGON, BidikIndonesia.com Konflik internal di tubuh Universitas Gajah Putih (UGP) dan Yayasan UGP Takengon, Aceh Tengah, hingga kini masih belum bisa dipadamkan. Berbalas pantun di media pers dan media sosial (Medsos) terus saja berlangsung dan memanas.

Ada kesan para pihak paling merasa benar atas argumen demi argumen yang diutarakan. Namun, di balik kisruh itu, masyarakat, terutama orang tua dari para mahasiswa, kebanyakan menginginkan konflik ini segera berakhir. Agar perguruan tinggi UGP kembali fokus mengurus para mahasiswa.

Awal mula kasus ini bergulir sejak Maret 2023. Saat itu, sejumlah dosen melakukan mogok “ngampus” lantaran gaji mereka belum dibayarkan selama beberapa bulan. Saat itu, ada 75 dosen yang menyatakan sikap untuk menghentikan proses akademik.

Menjelang Idul Fitri, perkara ini sempat dibahas di Gedung DPRK Aceh Tengah, semua pihak ikut hadir menyaksikan cerita pilu yang ada di kampus kebanggan orang Gayo itu.

Pada 18 April 2023, keputusan antara rektorat UGP dan forum dosen yang diteken langsung oleh Rektor UGP Takengon Elliyin serta ketua forum dosen, Syahidin, sepakat untuk membayarkan gaji dosen selama lima bulan, terhitung sejak bulan Desember 2022 – April 2023. Gaji ini dibayarkan secara penuh pada bulan September 2023.

Bacaan Lainnya

Di poin kedua, kesepakatan itu berisikan, pembayaran gaji pada bulan Mei- September 2023 dibayarkan tidak kurang dari 50 persen dari total gaji masing –masing dosen dan staf.

Sisa dari gaji yang belum terbayar bulan Mei – September 2023 dibayarkan pada Oktober 2023. Untuk penggajian bulan berikutnya dibayarkan secara penuh.

Saat itu, pihak rektorat diminta oleh Ketua Komisi D, Salman, untuk memaparkan laporan keuangan UGP Takengon dari tahun 2022- 2023 tanggal 08 Mei 2023 di ruang sidang DPRK Aceh Tengah.

Bahkan, dalam surat kesepakatan itu disebut, jika poin poin ini tidak dapat dipenuhi, maka pihak rektorat UGP Takengon siap menerima sanksi dari badan penyelenggara sesuai peraturan dan perundang – udangan yang berlaku.

Para pihak yang membubuhi tanda tangan selain Rektor dan Ketua forum dosen saat itu adalah, Ketua Komisi D, Salman, Kabag Hukum, Abshar, Kepala Distranaker, Kausarsyah dan Ketua MPD Zulfikar Fikri.

Tak sampai di situ, bola panas di UGP Takengon merambah ke pemecatan puluhan dosen, sebanyak 31 Tenaga Kependidikan (Tendik) di non-aktifkan oleh tim penyegaran anggaran di kampus ini.

Para dosen mulai gerah, sebanyak 26 dosen dan 4 staf di rumahkan oleh tim ini, mereka akan dipanggil kembali oleh kampus ketika kondisi keuangan kampus telah kembali normal.

Aksi protes pun dlakukan dosen, mereka menggeruduk ruang rektorat. Surat itu ternyata sudah di tembuskan ke L2 Dikti wilayah XIII di Banda Aceh, diteken langsung oleh Ketua Yayasan UGP, Mustafa Ali.

Aksi tersebut dilakukan tanggal 11 Oktober 2023. Parahnya lagi, para dosen ini meminta Rektor UGP Takengon Elliyin turun dari jabatannya supaya kampus itu “terselamatkan”.

“Mundur saja dari Rektor, kami juga belum melihat prestasi apa yang ditorehkan Elliyin selama memimpin UGP,” kata Ketua Forum dosen UGP Takengon, Syahidin saat itu.

Pengakuan Rektor UGP Elliyin saat itu membantah aktivitas kampus lumpuh akibat 75 dosen mogok masuk kampus. Menurut dia, kampus berjalan seperti biasa meski 40 dosen mogok karena tidak ada uang BBM.

Dosen di kampus tersebut berjumlah 86 orang dan yang menyatakan mogok sebanyak 40 orang. Sisanya tidak, lantaran sebahagian dosen disebut rektor sudah sertifikasi dosen sebanyak 43 orang.

“Termasuk saya, tidak mungkin mogok, jika tidak masuk mengajar, tunjangan sertifikasinya akan dihentikan oleh Kementerian. Tunjangan itu lebih besar dari gaji yang diberikan oleh Yayasan,” kata Rektor membantah tuduhan mogok para dosen saat itu.

Eliyin juga menjawab polemik keterlambatan pembayaran gaji dosen saat itu. Menurut dia, sejumlah dosen sengaja mempolitisir dengan maksud ingin mendapatkan simpati dari berbagai elemen.

Dalam perjalanan, pihaknya terus berupaya membayarakan gaji dosen, termasuk telah melaksanakan rekomendasi senat UGP. Pihak kampus juga telah menyalurkan uang meugang dan gaji dua bulan dibayarkan saat dana pendidikan beasiswa KIPK cair dan sisanya dibayarkan saat keuangan kampus kembali normal.

Mengiringi perjalanan konflik itu, pihak Yayasan UGP Takengon turut angkat bicara terkait penonaktifan puluhan dosen itu. Kata Mustafa Ali, Pembina Yayasan, keputusan yang telah dikeluarkan tersebut dapat dianulir atau dibatalkan.

Bahkan, pihak Yayasan sendiri menyebut penonaktifan puluhan dosen dan sejumlah staf ini adalah miskomunikasi terkait data yang diterima. Untuk hak dosen akan dibayarkan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan kampus.

“Ini hanya miskomunikasi karena kondisi keuangan kampus sedang tidak stabil,” kata Ketua Yayasan UGP Takengon, Musafa Ali, saat menemui para dosen yang dirumahkan.

Buntut dari pertemuan antara forum dosen dan yayasan UGP mengerucut, dua nama harus dikorbankan atas keputusan penonaktifan puluhan dosen dan sejumlah staf. Dua nama yang harus “angkat kaki” dari UGP adalah Rayuwati, Wakil Rektor I bidang akademik dan Patriandi Nusantoro, Wakil Rektor II bidang non akademik.

Keputusan ini merupakan beban berat bagi yayasan UGP Takengon, dua nama itu merupakan petinggi-petinggi kampus yang tidak mungkin serta-merta diberhentikan.

Di tengah perjalanan, dua nama yang diusul ini pun ternyata belum final, jabatan Rektor, Elliyin rupanya masuk juga dalam salah satu nama yang harus dicopot. Permintaan ini menyeruak, disinyalir sang rektor ikut “main mata” dalam pemecatan puluhan dosen itu.

Riuhnya benang kusut di tubuh kampus yang beralamatkan di Blang Bebangka ini mendapat atensi dari Pj Bupati Aceh Tengah, Teuku Mirzuan. Saat itu, mahasiswa dan dosen berkelakar, Pemda Aceh Tengah harus mengambil alih hingga keadaan kembali stabil.

Mirzuan berupaya memberi kesejukan di tengah sulutan api panas yang membakar tubuh UGP. Saat itu ia didampingi Mursyd, Asisten I yang mengerti betul tentang seluk beluk kampus tersebut.

Kehadiranya pada 12 Oktober 2023 saat itu ingin memastikan restrukturisasi dan rasionalisasi status dosen yang menjadi bola panas. Bahkan, beredar luas di media.

Dalam forum itu mencuat sebuah pertanyaan, “Apakah Yayasan UGP Takengon milik pemerintah atau milik pribadi? Jawaban yang mencuat adalah “milik rakyat”, sedang Pemda statusnya hanya sebagai penengah.

“Kami ingin kampus ini tetap berjalan dengan baik, mari kita selesaikan dengan kepala dingin, sehingga proses perkuliahan tidak terganggu,” harap Mirzuan berupaya mendinginkan situasi.

Alhasil, Mirzuan saat itu mengundang pihak Yayasan UGP Takengon dan Rektor untuk membahas polemik yang dihadapi kampus kebanggan orang Gayo ini di Pendopo Bupati.

Pascakedatangan Mirzuan, tepat di hari Jum’at 13 Oktober 2023, mahasiswa, dosen, rektor dan pihak yayasan melakukan pertemuan di UGP Takengon. Namun, pertemuan ini berakhir ricuh.

Ternyata, Rektor Eliyin telah diadukan jauh-jauh hari oleh dosen UGP ke polisi terkait anggaran KIPK dan Aceh Carong. Atas dasar itu, Eliyin menggandeng kuasa hukum saat menemui pihak dosen dan mahasiswa.

Eliyin menyebut penonaktifan dosen itu adalah hasil verifikasi dari tim dan telah menjadi keputusn pihak Yayasan UGP Takengon.

Pada hari itu juga, mahasiswa menggeruduk kantor Yayasan, meminta rektor UGP untuk dicopot dari jabatannya. Tak hanya Rektor, dua nama sebelumnya juga diminta diakomodir oleh yayasan untuk diberhentikan.

Ketua Yayasan UGP Takengon pun menyahuti permintaan mahasiswa dan dosen ini. Lantas, ia pun membacakan surat pemecatan itu dan menganulir pemecatan puluhan dosen beserta staf.

“Memecat dan memberhentikan secara hormat Rektor, Wakil Rektor I dan Warek II serta mencabut SK penonaktifan tenaga pendidik dan kependidikan berjumlah 41 orang,” lukas Mustafa Ali.

Pemberhentian dengan hormat Rektor UGP Takengon periode 2022-2026 tertuang dalam nomor surat Yayasan 63/PEMB/YGP/AT/SK/X/2023. Sedangkan pencabutan SK dosen yang dinonaktifkan yayasan tertuang dalam nomor surat 61/PEMB/YGP/AT/KPTS/X/2023.

Pascapemecatan itu, KBA.ONE langsung mewawancarai Eliyin. Dia menyebut lapang dada atas pemecatan dirinya oleh Yayasan UGP Takengon. Ia menilai, pihak yayasan memiliki pertimbangan sendiri mengapa surat itu dikeluarkan.

Pun demikian, ia menyebut surat pemecatan itu cacat hukum, keputusan final ada pada senat UGP dan yayasan, itupun harus memenuhi kuorum. Saat SK itu diteken, kata Eliyin, kuorum tidak cukup, hanya dihadiri 4 orang dari 11.

Tak lama berselang, Mustafa Ali kembali berkomentar, surat pemecatan yang ia teken saat itu tidak sah lantaran dipicu oleh desakan massa pihak dosen dan mahasiswa yang mengepung ruang yayasan UGP Takengon.

Ternyata, sebelum surat tersebut dikeluarkan, pihak yayasan hanya membahas dua nama yang diberhentikan, yaitu Warek I dan Warek II. Saat audiensi berlangsung, permintaan semakin meluas hingga mengarah ke Rektor UGP.

“Dalam posisi itu kami tidak bisa berbuat apa-apa, dalam keadaan terpaksa saya tanda tangani, daripada kami jadi korban massa, apalagi saat itu waktu mau shalat Jum’at,” kata Mustafa Ali.

Polemik semakin runyam, Ketua Pembina Yayasan UGP Takengon, Mustafa Ali melaporkan sejumlah dosen UGP Takengon ke Polres Aceh Tengah. Ia mengaku menjadi korban penyanderaan saat terjadi kericuhan di kampus tersebut.

Pernyataan ditarik dan dikurung di dalam ruangan sehingga harus menandatangani surat pemecatan rektor UGP, Eliiyin. Sehingga ia mengambil langkah diselesaikan secara hukum.

Tak hanya Mustafa Ali, Rektor UGP, Eliyin juga melaporkan sejumlah dosen dan mahasiswa ke polisi saat diskusi ricuh yang dilakukan di kampus tersebut. Teranyar, Eliyin mengaku terancam saat peristiwa itu terjadi.

Hutang UGP Takengon kian “membengkak” hingga keluar usulan menjual sejumlah mobil mewah yang dimiliki oleh kampus ini. Dan akhirnya, hutang-hutang itu pun lunas dibayarkan.

Untuk membersihkan “kepulan asap” konflik di tubuh UGP ini, dua tokoh penting yang pernah memimpin Aceh Tengah pun turun tangan, Nasaruddin yang sudah 12 tahun sebagai orang nomor satu di Kabupaten itu beserta Shabela Abubakar. Mereka ikut berdiskusi dengan pihak terkait di pendopo.

Tiga poin disepakati untuk me-restart kembali kampus ini, yayasan dikembalikan kepada masyarakat, struktur yayasan dirombak dan memasukan pihak Pemda serta DPRK Aceh Tengah.

Lima nama dari Pemda yang diusul saat itu masuk ke tubuh yayasan adalah Mursyd, Amir Hamzah, Arslan, Zulfikar Fikri dan Abshar. Dari enam Pembina Yayasan akan ditambah 7 orang.

Saat itu juga di sepakati, Yayasan UGP Takengon segera menunjuk Plt Rektor untuk menutupi kekosongan pimpinan. Kesepakatan ini kategori mendesak, segera dilakukan setelah rapat itu selesai.

Yang paling urgen adalah terkait saling lapor ke Polisi, semua pihak sepakat untuk ditempuh jalan islah (damai). Namun, sejumlah kesepakatan ini belum terwujud, Plt rektor belum ditunjuk hingga perdamaian belum dilakukan.

Belum selesai sampai di situ, pada 27 November 2023, Pj Bupati kembali memfasilitasi pertemuan dengan pihak Yayasan, bahkan dihadiri Shabela Abubakar, Bupati Aceh Tengah periode 2017-2022 dan pihak Notaris Cendri Nafis.

Pertemuan ini menyepakati Pemda masuk ke Pembina Yayasan, tujuh nama yang diusul dari Pemda adalah Mursyd (Asisten), Harun Manzola (Asisten), Sukirman (Asisten) Arslan Abd Wahab (Kepala BPKK), Amir Hamzah (Kepala Bappeda), Kausarsyah (Kadis Transnaker) dan Abshar (Kabag Hukum Setdakab). Dan nama yang terakhir adalah Ketua Komisi D DPRK, M Syahrul.

Nama-nama ini sepakat dimasukan ke dalam akte notaris, menambah dari nama- nama Pembina Yayasan sebelumnya, sehingga upaya untuk menyehatkan UGP Takengon dapat terwujud dalam waktu segera.

Pada 18 Oktober 2023, kembali viral surat pembatalan pemecatan Rektor UGP Takengon Eliyin, Yayasan UGP mencabut surat pemecatan Eliyin. Ternyata, Eliyin aktif bertugas pasca Mustafa Ali melaporkan oknum dosen ke polisi.

Ia beralasan kampus harus terus berjalan aktif. Alasannya, masih banyak dosen yang memiliki Serdos dan segala bentuk administrasi mahasiswa memerlukan rektor yang aktif. Sedangkan pada malam pertemuan dengan Pj Bupati, ia sepakat menetapkan Plt Rektor UGP.

Sebelumnya, Mustafa Ali telah menyerahkan jabatan Pembina Yayasan UGP Takengon kepada Abdiansyah Linge pada 24 Oktober 2023. Ia sendiri yang meneken langsung surat tersebut, disaksikan sejumlah Pembina Yayasan lainya. Status Mustafa Ali di yayasan saat itu disepakati sebagai anggota.

Pasca Abdiansyah Linge menjabat sebagai Ketua Pembina Yayasan Universitas Gajah Putih, ia kembali mengeluarkan surat pemecatan Rektor UGP Takengon, Eliyin, dengan Nomor 02/YGP/AT/SK/XI/2023 ditetapkan tanggal 16 November 2023.

Rektor pun merasa terkejut dengan pemecatan itu. Setelah dianulir oleh Mustafa Ali, saat itu ia kembali dipecat oleh Abdiansyah Linge.

Nama Adnan sempat ditetapkan oleh Yayasan UGP, melanjutkan sisa masa jabatan Eliyin 2022-2026. SK untuk kepemimpinan Adnan telah di teken dan dinomori 03/YGP/AT/SK/XI/2023.

“Pengurus Yayasan meng-SK-kan Adnan sebagai Rektor UGP Takengon saat ini,” kata Abdiansyah Linge di depan mahasiswa dan dosen.

Terkait penganuliran Eliyin sebagai Rektor oleh Mustafa Ali, disebut tidak melalui pembahasan forum pihak Yayasan. Pengangkatan Adnan pun telah dilaporkan ke L2Dikti, Banda Aceh.

Abdiansyah Linge juga berbicara terkait dualisme Pembina Yayasan saat itu. Restrukturisasi Pembina Yayasan dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2023 lalu, melibatkan semua anggota yayasan.

Adnan pun bersedia saat itu memikul beban berat di UGP Takengon sebagai Rektor. Namun, ada catatan yang harus dilakukan dan ada perjanjian dengan pengurus Yayasan.

“Kami bersedia mengemban amanah ini, namun pemberhentian Eliyin dan dua wakil rektor sah secara hukum,” kata Adnan memberi catatan kongkrit.

Saat itu kondisi kampus juga memanas, mahasiswa mendesak Rektor Eliyin untuk meninggalkan ruangan supaya Rektor yang baru Adnan menggantikan posisinya di ruang rektorat.

Namun, upaya mereka ini berujung ke penyegelan, lantaran tidak ada kepastian yang mereka terima. Mereka khawatir kampus UGP nasibnya akan sama seperti Intitute Teknologi Medan (ITM), ijin belajarnya dicabut.

“Kami hanya menuntut kejelasan SK yayasan yang diakui oleh L2Dikti. Kami tidak ingin ada dualisme kepemimpinan,” kata Korlap aksi, Heru Ramadhan pada Selasa 28 November 2023.

Bahkan, Fakultas Pertanian, Fakultas Ekonomi teranyat Fakultas Fisipol menutup proses kegiatan akademik dan non akademik. Penutupan ini dilakukan akibat dualisme jabatan yayasan, rektor dan gaji dosen yang masih terkatung-katung belum dibayarkan.

“Fakultas ini tutup adalah bentuk protes terhadap masalah yang terjadi dilingkungan UGP. Kemungkinan hanya satu yang tidak menutup proses administrasi dan proses belajar mengajar yaitu fakultas tekhnik,” kata Syahdan Syahputra kepada KBA.

Tak hanya itu, mahasiswa juga menolak untuk mengikuti proses wisuda, lantaran masih terdapat kelumit konflik di tubuh UGP Takengon terkait dualisme jabatan. Menurut Mahasiswa, kepemimpinan Eliyin adalah illegal.

Wisuda yang rencananya akan dilakukan pada 27 Januari 2024 itu masih belum mendapat kepastian. Sedangkan Rektor Eliyin sangat menyayangkan pernyataan Ormawa yang menghalang-halangi proses wisuda.

PIN ijazah, menurut Eliyin, telah dikeluarkan oleh Kemendikbudristek RI, jumlah nya sebanyak 229 orang. Ia mengaku tetap melaksanakan wisuda meski jumlahnya hanya sedikit.

Di sisi lain, pihak Pemkab bersama DPRK dan Pembina yayasan UGP Takengon saat ini tengah mengurus akte notaris dan Kemenkum HAM untuk kepengurusan Pembina yayasan yang baru.

Pembina yayasan ini diketuai Vimartian Sagara dan anggota lainnya telah meneken akte itu disaksikan langsung oleh Pj Bupati Aceh Tengah, Teuku Mirzuan. Anggota dalam akte itu adalah Mustafa Ali, Abdiansyah Linge, King Rawana Saputra, Hadiananta Sahruna, Fitra Gunawan, Caisaria Zariansyah, Mursyid, Harun Manzola, Sukirman, Arslan A. Wahab, Amir Hamzah, Kausarsyah, Abshar dan Muhammad Syahrul dari DPRK Aceh Tengah.

Setelah Pembina yayasan ini terbentuk, Pembina akan menetapkan pengurus yayasan dan pengawas yayasan. Anehnya lagi, akhir-akhir ini di tubuh UGP Takengon telah dilakukan pelantikan pengurus dan pengawas yayasan. Menurut Vimartian Sagara, kepengurusan itu illegal.

“Kami tak terlibat, itu tidak sah, illegal, karena kami tidak mengetahui kapan pemilihan dan proses pelantikan nya,” kata Vimartian menjawab KBA, Kamis 25 Januari 2024.

Pj Bupati Aceh Tengah, Mirzuan, berharap Pembina Yayasan yang baru saja meneken akte notaris itu agar dapat membenahi kondisi UGP Takengon yang elektabilitasnya turun beberapa waktu ke belakang ini.

“Selamat bekerja, berikan warna untuk Universitas Gajah Putih Takengon,” harap Teuku Mirzuan. Ia menginginkan di tangan Pembina Yayasan ini semua benang kusut di tubuh UGP terurai.

Tindakan itupun mendapat apresiasi dari Syahidin, Ketua Forum Dosen UGP Takengon. Sikap Pj.Bupati Aceh Tengah memfasilitasi penandatanganan pergantian kepengurusan Yayasan Gajah Putih di Takengon merupakan langkah yang benar dan bijak dalam mendukung pendidikan tinggi di wilayah tengah Aceh.

“Kami dari Forum Dosen, staf dan mahasiswa mendukung sikap bijak yang di lakukan Pj Bupati. Kami akan membuktikan UGP akan lebih maju ke depannya,” kata Syahidin.

Dia menilai secara objektif. Selama ini, katanya, langkah-langkah yang diambil dari Pembina Yayasan Gajah Putih sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal pergantian Mustafa Ali, “Semua dilaksanakan berdasarkan rapat Dewan Pembina dengan dibuktikan adanya berita acara rapat tanggal 24 Oktober 2023 disertai dengan foto dokumentasi yang dilakukan dikediaman Mustafa Ali,” kata Syahidin.

Forum Dosen dengan lantang menyampaikan, apabila ada Yayasan Gajah Putih dan pihak-pihak yang mengatasnamakan pembina selain yayasan yang sudah dibentuk tanggal 23 Januari 2024 maka akan mereka hadapi sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Sementara itu, Mustafa Ali menolak pembuatan akte perubahan yayasan tanpa sepengetahuannya. Berdasarkan akte nomor 39 tahun 2019 dan SK Kemenkum HAM, ia akan membawa kasus tersebut ke Pengadilan Negeri Takengon.

Sebelum ada putusan pengadilan, Mustafa Ali meminta pengelolaan UGP Takengon tetap di bawah pengelolaan yang ia bentuk. “Apabila ada pihak-pihak yang mengganggu jalanya pengelolaan yayasan dan UGP maka kami anggap itu sebagai tindakan semena-mena,” kata Mustafa Ali.

Hari ini, SK Kemenkum HAM Akte penegasan yayasan UGP Takengon telah terbit, Kemenkum HAM bernomor AHU-H.01.06.0005896. Ternyata, legalisasi ini sedang ditunggu-tunggu oleh L2Dikti. Dikabarkan, dalam waktu dekat, akan dibentuk pengurus dan pengawas yayasan. Pertanyaannya, apakah jalan ini telah mewakili “jalan tengah” bagi pihak yang bertengkar?

Kita lihat saja nanti usai ditetapkanya Pembina Yayasan ini. Pastinya, harapan banyak orang, UGP Takengon harus segera bangkit dari paparan bara konflik civitas akademika yang menyasar ruang-ruang maktab UGP Takengon. Agar nuansa kesejukan terus terjaga di kabupaten berhawa sejuk ini.[KBA]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *