JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka-bukaan soal penetapan Harga bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya BBM non subsidi yang akan dijual pada Agustus 2024.
Biasanya badan usaha penyedia BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) akan mengubah produk harga BBM-nya pada awal bulan. Hal itu mengikuti ketentuan harga minyak mentah khususnya Indonesia Crude Price (ICP).
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (migas) Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mustika Pertiwi, mengatakan penetapan harga BBM non subsidi pada bulan Agustus 2024 mendatang akan sesuai dengan regulasi yang sudah ada.
Adapun, regulasi yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 14A Peraturan Presiden No 69 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.
“Bahwa harga jual eceran jenis BBM Umum di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah pajak pertambahan nilai dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor,” jelasnya.
Selain itu, Mustika menjelaskan regulasi lainnya seperti pada Pasal 10 Permen ESDM 20/2021 tentang perhitungan harga jual eceran BBM sebagaimana diubah dengan Permen ESDM 11/2022. Yang isinya:
a. Badan Usaha wajib melaporkan penetapan dan pelaksanaan harga jual eceran jenis BBM umum setiap bulan atau dalam hal terdapat perubahan dalam penetapan harga jual eceran jenis BBM umum kepada Menteri melalui Dirjen
b. Direktur Jenderal melakukan evaluasi atas laporan Badan Usaha. Asal tahu saja, harga BBM non subsidi khususnya yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) belum mengalami perubahan harga terhitung sejak sejak lima bulan.
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta agar pemerintah tak lagi menahan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax (RON 92) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik PT Pertamina (Persero).
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan, hal ini dikarenakan bisa berdampak pada beban biaya BUMN tersebut, karena harga jual lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya. Terlebih, BBM Pertamax bukan lah produk subsidi.
“Untuk harga-harga yang memang non-subsidi seperti Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, dan sebagainya, biarkanlah mekanisme pasar saja. Tidak usah diatur oleh pemerintah,” ungkap Sugeng.
Menurutnya, untuk produk BBM non subsidi lebih baik dilepas sesuai dengan mekanisme pasar, dan kembali pada kebijakan awal di mana harga BBM non subsidi dapat dilakukan penyesuaian setiap bulannya.
“Kan itu juga diatur oleh pemerintah harganya, sehingga tidak ada keleluasaan yang fleksibel kadang-kadang itu tentang harga-harga yang non-subsidi. Biarkan diumumkan di publik saja bahwa harga turun naik sesuai dengan proses-proses produksi untuk menghasilkan 1 liter Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamax Turbo, misalnya,” jelasnya.
Ia juga mengatakan berbeda dengan BBM Pertalite (RON 90) BBM tersebut diberikan kompensasi oleh pemerintah lantaran termasuk ke dalam Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
“BBM Pertalite saat ini juga memiliki selisih harga yang jauh dari nilai keekonomiannya dibandingkan dengan harga jual saat ini. “Itu berat sekali hari ini. Karena Pertalite dengan harga jual Rp 10.000 (per liter), itu harga produksinya kurang lebih Rp 12.400. Bahkan akhir-akhir ini akan naik merangkak kurang lebih menjadi Rp 13.500. Jadi Rp 13.500 harga real-nya,” pungkasnya.(BT)