Banda Aceh – Pemerintah Aceh menyampaikan pendapatnya atas delapan Qanun Aceh inisiatif dewan di DPR Aceh. Pendapat gubernur tersebut dibacakan Asisten I Sekda Aceh, M. Jafar, dalam Paripurna DPR Aceh, Rabu 28/12/2022.
Pertama adalah Rancangan Qanun Aceh tentang Majelis Pendidikan Aceh. Pemerintah Aceh, kata Jafar, sangat berterimakasih serta mengapresiasi atas Laporan Hasil Pembahasan Komisi VI DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Aceh tersebut.
“Dalam rangka melaksanakan amanah UUPA, dan untuk penyempurnaan tata kerja Majelis Pendidikan Aceh, kami sangat mengapresiasi pembentukan Qanun Aceh tentang Majelis Pendidikan Aceh,” kata Jafar.
Selanjutnya adalah Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Berdasarkan hasil laporan tersebut, pemerintah mengatakan jika Qanun itu bertujuan untuk memperkuat perlindungan kepada anak dan perempuan korban kekerasan seksual. Raqan itu saat ini telah disampaikan permohonan fasilitasi kepada Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 180/19652 Tanggal 22 November 2022, namun hingga saat ini belum mendapat hasil fasilitasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya adalah hasil Pansus Wali Nanggroe DPR Aceh, berkaitan dengan substansi materi Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe. “Pada prinsipnya kami sependapat sepanjang itu bertujuan untuk memperkuat kelembagaan Wali Nanggroe, mengingat peran penting Wali Nanggroe, sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat “ dan budaya,” kata Jafar. Namun demikian, Raqan ini saat ini juga belum mendapat hasil fasilitasi dari Menteri Dalam Negeri. Sidang dewan yang terhormat,
Sementara berkenaan dengan Rancangan Qanun Aceh tentang Tata Niaga Komoditas Aceh, pemerintah Aceh juga mengucapkan terima kasih serta mengapresiasi atas Laporan Hasil Pembahasan Pansus Tata Niaga Komoditas Aceh DPR Aceh. Penyusunan Rancangan Qanun itu, kata Jafar, berdasarkan amanah Pasal 165 ayat (1) UUPA, bahwa penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.
Saat ini, Rancangan Qanun Tentang Tata Niaga Komoditas Aceh itu telah mendapat hasil fasilitasi Menteri Dalam Negeri dan telah dilakukan penyempurnaan berdasarkan hasil fasilitasi antara panitia khusus Rancangan Qanun Tata Niaga Komoditas Aceh DPR Aceh dengan tim Pemerintah Aceh. “Keberadaan Qanun ini diharapkan dapat meningkatkan’ kesejahteraan masyarakat Aceh terutama produsen Tata Niaga Komoditas Aceh,” ujar Jafar.
Untuk Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan, juga telah disampaikan permohonan fasilitasi kepada Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 180/17745 Tanggal 25 Oktober 2022, namun hingga saat ini belum mendapat hasil fasilitasi dari Menteri Dalam Negeri.
Terkait, Rancangan Qanun Aceh tentang Bahasa Aceh, keberadaan Qanun ini diharapkan menjadi instrumen yang melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, serta membina bahasa Daerah di Aceh, yang meliputi Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Bahasa Tamiang, Bahasa Alas, Bahasa Jamee, Bahasa Kluet, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Singkil, Bahasa Haloban dan Bahasa-Bahasa lain yang digunakan secara turun-temurun oleh Masyarakat Aceh.
Rancangan Qanun ini telah mendapat hasil fasilitasi Menteri Dalam Negeri dan juga telah dilakukan penyempurnaan berdasarkan hasil fasilitasi antara Komisi VI DPR Aceh dengan Tim Pemerintah Aceh.
Sementara itu terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Hak Sipil dan Hak Politik Rakyat Aceh, sejalan dengan Laporan Hasil Pembahasan Badan Legislasi DPR Aceh, bahwa berdasarkan hasil fasilitasi Menteri Dalam Negeri bahwa materi muatan yang termaktub dalam Rancangan Qanun Aceh tentang Hak Sipil Dan Hak Politik Rakyat Aceh sudah cukup jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 8 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik. Dan Pemerintah Aceh cukup memedomani ketentuan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pelaksanaan Pemenuhan Hak Sipil Dan Hak Politik Rakyat Aceh.
“Berdasarkan hasil fasilitasi Menteri Dalam Negeri terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Hak Sipil Dan Hak Politik Rakyat Aceh, belum dapat kita dilakukan persetujuan bersama dalam sidang paripurna ini,” ujar Jafar.
Terakhir adalah Rancangan Qanun Aceh tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Alam Rakyat Aceh. Dalam UUPA, diatur bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola Sumber Daya Alam di Aceh baik di darat maupun dilaut sesuai kewenangannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. Selanjutnya juga ditegaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan bersama minyak dan gas bumi Aceh merupakan bagian dari kewenangan Pemerintah Aceh.
Rancangan Qanun ini telah disampaikan permohonan fasilitasi kepada Menteri Dalam Negeri namun hingga saat ini belum mendapat hasil fasilitasi dari Menteri Dalam Negeri. []
SUMBER BERITA