ACEH TAMIANG,Bidikindonesia.com
Dinilai langkah langkah mundur dan berpotensi membuat kegaduhan, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang menolak kebijakan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang hanya menanggung biaya perawatan pasien dengan kriteria gawat darurat.
Penolakan ini disampaikan Komisi III DPRK Aceh Tamiang usai mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BPJS Kesehatan dan RSUD Muda Sedia, Senin (3/2/2025) sempat dilakukan secara tertutup.
Ketua Komisi III DPRK Aceh Tamiang, Maulizar Zikri, RDP yang dilakukan pihaknya atas keluhan sejumlah pasien RSUD Muda Sedia yang dikenakan tarif ketika beobat.
“Pasien yang berstatus aktif sebagai peserta BPJS Kesehatan dikenakan tarif ketika berobat, ternyata memang ada kebijakan baru dari BPJS,” ungkap Maulizar Zikri.
Maulizar Zikri yang akrab disapa Dekdan menyampaikan kebijakan baru ini belakangan diketahui berawal dari kesepahaman bersama antara BPJS dengan Kemenkes terkait penatalaksanaan solusi permasalahan klaim INA-CBG tahun 2024.
Merujuk kesepahaman ini, BPJS Kesehatan membuat matriks ketentuan penjaminan dan penagihan klaim IGD.
“Kalau tidak masuk dalam matriks itu, BPJS tidak menangungg beban biaya pasien. Artinya hanya pasien yang berkriteria gawat darurat yang perawatannya ditanggung,” ujar Dekdan.
Dekdan menilai kebijakan yang dilakukan ini jelas merugikan masyarakat dan berpotensi membuat kegaduhan.
Dekdan menegaskan bahwa Komisi III DPRK Aceh Tamiang menolak kebijakan yang dilakukan serta meminta BPJS Kesehatan mempermudah urusan pelayanan masyarakat.
“Kami mendukung penuh semua kebijakan pemerintah, tapi kami menilai kebijakan BPJS tidak berpihak kepada masyarakat. Hari ini masyarakat kita banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, jangan lagi dipersulit,” tegasnya.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi III DPRK Aceh Tamiang Sugiono Sukandar menambahkan kebijakan BPJS Kesehatan yang tidak lagi menanggung pasien non-kriteria gawat darurat merupakan langkah mundur.
Menurut anggota dewan tiga periode dari Partai Gerindra ini mengatakan seharusnya di era pemerintahan baru, BPJS berbenah meningkatkan pelayanan masyarakat.
“Ini langkah mundur. Hari ini semua elemen di Aceh Tamiang sedang memikirkan solusi meningkatkan kapasitas ruang rawat inap, tiba-tiba muncul kebijakan begini,” kata Sugiono.
Disisi lain anggota Komisi III, Irwan Effendi dari PNA meminta kebijakan ini dievaluasi. Penerapan kriteria gawat darurat yang ditetapkan BPJS dinilai terlalu kaku dan tidak sejalan dengan program pemerintah yang tengah berjuang meningkatkan kualitas kesehatan penduduk.
“Program makan bergizi yang sedang berjalan contoh pemerintah sedang semangat meningkatkan kualitas kesehatan warganya, sudah jelas tumpang tindih dengan kebijakan BPJS,” kata Irwan Effendi.
Direktur RSUD Muda Sedia, dr Andika Putra : Kebijakan baru BPJS Kesehatan bertentangan dengan Perpres 82/2018 dan Permenkes 47/2018.
Menurut Direktur RSUD Muda Sedia, dr Andika Putra, SpPD, FINASIM, MHKes kebijakan baru BPJS Kesehatan yang hanya menanggung biaya pasien gawat darurat dinilai bertentangan dengan Perpres 82/2018 dan Permenkes 47/2018.
Hal itu disampaikan usai mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) bersama BPJS Kesehatan di Ruang Komisi III DPRK Aceh Tamiang, Senin (3/2/2025).
“Setelah kami telaah isi berita acara berumber dari referensi Perpes 82 tahun 2018 dan Permenkes 47 tahun 2018. Bila dibaca lebih mendalam, ternyata bertentangan dengan Pasal dan Bab yang sudah diatur dalam Perpres dan Permenkes ini,” kata Andika.
Misalnya kata dia, kebijakan baru ini menganut matriks dari referensi Perpres NO 82 /2018 dan Pemernkes No 47/2018 yang melahirkan ketentuan penjaminan dan penagiahn klaim IGD.
“Bahwa semua pasien yang masuk dari IGD yang dilanjutkan rawat inap kalau tidak ada kriteria gawat darurat seperti yang tecantum di dalam matriks tersbeut maka tidak akan dibayarkan oleh BPJS Kesehatan,” jelas Andika.
Namun dalam Perpres dan Permenkes yang sama, juga dijelaskan manfaat kesehatan yang dijamin meliputi pemeriksaan, pengobatan, konsultasi spesialistik, tindakan medis spesialistik baik bedah maupun non-bedah, kemudian pelayanan darah rehabilitasi medis.
Kemudian perawatn inap non-intensif, perwatan inap di ruangan intensif dengan turunan 12 poin.
“Jadi tidak ada satupun menyatakan syarat pelayanan yang dijamin kalau masuk UGD harus kriteris gawat darurat,” tegas Andika.
Dilanjutkannya, pada Bab IV Pasal 52 juga sudah dicantumkan jenis pelayanan tidak dijamin.
“Tidak ada, maka dengan sendirinya bertentangan dengan berita acara,” sambungnya.
Tumpang tindih kebijakan baru ini juga ditemukan pada Bab 5 yang mengatur penyelenggaran pelayanan kesehatan. Khusus Pasal 63, secara tegas menjabarkan pasien peserta BPJS Kesehatan yang memerlukan gawat darurat bisa langsung mendapat layanan di fasiitas kesehatan yang memiliki kerja sama atau tidak dengan BPJS.
“Level kami di sini hanya bisa berkomunikasi dengan BPJS Kesehatan Cabang Langsa, kami berharap mereka meneruskan keluhan ke tingkat yang lebih tinggi untuk dievaluasi,” kata Andika. ( Poris )