BANDA ACEH, Bidikindonesia.com Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyoroti kedatangan Ketua KPK, Firli Bahuri, ke Aceh. Menurut Koordinator MaTA, Alfian, kedatangan ketua KPK kali ini menjadi perhatian publik karena statusnya dalam penyelidikan Polda Metro Jaya dan Dewan Pengawas KPK dalam kasus indikasi pemerasan dan penerimaan fasilitas yang dinilai sebagai bentuk gratifikasi.
Kata Alfian, selama ini Firli menjadi yang paling sering dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik ke Dewan Pengawas KPK, mulai dari dugaan membocorkan dokumen hasil penyelidikan di Kementerian ESDM, sewa helikopter mewah, bertemu pihak terkait perkara sampai pada memberhentikan Brigjen Endar atas dugaan menolak menaikkan status Formula E ke tahap penyidikan karena belum menemukan niat jahat atau mens rea.
Terakhir yang saat ini sedang menguras perhatian publik adalah dugaan Ketua KPK menjadi saksi atas pemerasan terhadap tersangka Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan gratifikasi rumah sewa oleh seorang pengusaha. Menurut Alfian, selama Firli memimpin, kewibawaan dan marwah KPK serta kepercayaan publik dinilai jauh dari kepemimpinan KPK sebelumnya. Sehingga publik menjadi resah atas rencana sejak revisi UU KPK, dan terpilihnya orang-orang yang sangat diragukan secara integritasnya.
“Atas realitas tersebut, maka kami memandang kedatangan Ketua KPK ke Aceh sama sekali tidak ada relevansi dengan kerja antikorupsi karena integritasnya sangat bermasalah, sehingga kedatangan Ketua KPK ke Aceh hanya mengulur-ngulur waktu atas pemanggilan penyidik dan Dewas KPK atas dugaan yang menjadi perhatian publik selama ini,” sebut Alfian.
Selanjutnya, MaTA juga mempertanyakan perkembangan penyelidikan 5 kasus dugaan korupsi di Aceh yang pernah KPK selidiki dengan pagu anggaran Rp5,427 triliun yang sampai sekarang tidak ada kejelasan, dimulai pada 3 Juni 2021 lalu dan memasuki pada 890 hari pasca penyelidikan.
Kemudian, koordinaor MaTA menilai KPK juga tidak merespons surat dari koalisi masyarakat sipil Aceh selama dua kali menyurati KPK perihal perkembangan kasus tersebut. “Maka kami patut menilai KPK “bermain” dengan kasus yang kami maksud tersebut sehingga hasil penyelidikan tidak ada perkembangan apa pun dan tidak ada kepastian hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, katanya, MaTA juga mempertanyakan kepada KPK atas mekanisme pencegahan dan pendidikan antikorupsi yang dilakukan terhadap siswa SMA/SMK Kota BANDA Aceh dan Aceh Besar, bedasarkan surat yang ditandatangani atas nama kepala cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, di mana dalam surat yang ditujukan kepada kepala SMA/SMK, bernomor 421.7/3937 Perihal permintaan peserta kegiatan sosialisasi pendidikan antikorupsi, salah satu poinnya berbunyi dalam mengajukan pertanyaan peserta hendaknya tidak memojokkan suatu instansi atau lembaga tertentu.
“Poin ini adalah pembungkaman dan gaya feudal jadi harus dilawan. Pendidikan antikorupsi itu bagaimana mendidik manusia memiliki kesadaran kritis atas bahaya laten korupsi bukan membatasi atau mengitervensi anak didik,” tegas Alfian.
Kemudian, lanjutnya, acara tersebut menjadi beban anggaran bagi sekolah-sekolah yang melakukan mobilisasi siswa, sementara tidak ada anggaran khusus untuk mobilisasi maupun konsumsi, dan ini menjadi potensi korupsi. “Pertanyaannya fungsi KPK atas pendidikan antikorupsi tersebut apakah sebagai “orang pangung” atau agen perubahan?” tanya dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, MaTA juga mendukung penuh atas sikap AJI, IJTI dan PWI terkait pengusutan atas intimidasi terhadap dua jurnalis di Aceh dan ini menjadi pesan kepada publik.
“Kedatangan pimpinan KPK ke Aceh jelas menghindar atas penyelidikan yang sedang berlangsung saat ini, sehingga tidak memiliki kesiapan padahal pimpinan KPK adalah sebagai pejabat publik,” kata Alfian.
Terakhir, MaTA juga mempertanyakan mengenai adanya laporan pejabat Pemerintah Aceh yang memfungsikan dirinya sebagai “pagar betis” ketika teman-teman media Aceh meminta wawancara ketua KPK, pejabat tersebut atas penelusuran MaTA ternyata sudah dua kali diperiksa oleh KPK atas kasus korupsi pada pagu anggaran Rp5,427 triliun tersebut.[KBA]