Kabid Propam Polda Aceh Permisif, Lindungi Terduga Pelaku Korupsi SPPD Fiktif KKR Aceh

Kabid Propam Polda Aceh Permisif, Lindungi Terduga Pelaku Korupsi SPPD Fiktif KKR Aceh

BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Aliansi masyarakat yang terdiri dari LBH Banda Aceh, MaTA, dan Katahati Institute menyoroti Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Aceh turut melindungi terduga pelaku tindak pidana korupsi KKR Aceh, yang kasusnya telah dihentikan oleh Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh.

Dalam rilis diterima KBA.ONE, Jumat 2 Februari 2024, menurut aliansi masyarakat ini alasan Kabid Propam Polda Aceh sangat tidak berdasarkan ketentuan hukum karena Kabid Propam menyatakan bahwa tidak ada unsur pelanggaran disiplin dan atau kode etik profesi Polri atas penghentikan dugaan tindak pidana korupsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh Polresta Banda Aceh.

Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, mengatakan alasan Kabid Propam menghentian kasus ini pertama karena ada Nota Kesepahaman Nomor: 100.4.7/437/SJ Nomor 1 tahun 2023 dan Nomor: NK/1/I/2023 tanggal 25 Januari 2023, tentang koordinasi aparat pengawasan internal pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan laporan atau pengaduan penyelenggaraan pemerintah daerah antara Mendagri, Kejaksaan RI dan Polri.

Kedua, karena ada Pedoman Kerja Teknis (PKT) Nomor: 01/PKS-IA/2023 dan Nomor: B/04/IV/HUK.1.1./2023 tanggal 14 April 2023 tentang penanganan dugaan tindak pidana korupsi pada penyelenggara Pemerintah Aceh antara APIP (Inspektorat Aceh) dan APH (Ditreskrimsus Polda Aceh).

Menurutnya, dalam hirarki peraturan perundang-undangan, nota kesepahaman bukanlah hukum, bahkan lebih rendah dari perjanjian. Harusnya, Kabid Propam Polda Aceh melihat hukum secara utuh, bukan malah mencari celah untuk menormalisasi kejahatan yang mengoyak rasa keadilan korban konflik dan Pelanggaran HAM di Aceh.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, tindakan Kasat Reskrim ataupun Kapolresta Banda Aceh yang menghentikan dugaan kasus korupsi SPPD fiktif KKR Aceh dapat dianggap melanggar etik profesi Polri dalam hal penegakan hukum.

Ia juga menyoroti terkait dengan kerugian negara lebih kecil dari biaya penanganan perkara. Kata dia, kepolisian sangat pilah pilih kasus korupsi untuk diproses secara hukum.

“Kerugian negara pada dugaan kasus SPPD fiktif KKR Aceh adalah Rp258.594.600, dibandingkan dengan beberapa kasus dugaan korupsi yang total kerugian lebih sedikit, namun kasusnya sampai ke meja hijau diproses secara hukum,” kata Alfian.

Alfian menyebutkan sebagai contoh, kasus korupsi penyelewengan dana desa di Gampong Meunasah Blang, Kecamatan Sakti dengan total kerugian negara Rp221 juta, kasus korupsi dana desa Teureubeh dengan total kerugian Rp212 juta, dan korupsi dana desa BUMG Kreung Raya Kota Sabang dengan total kerugian Rp136 juta.

“Itu artinya, kepolisian secara gamblang memperlihatkan ke publik pilah-pilih proses penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi,” jelasnya.

Lanjutnya, padahal pengembalian kerugian keuangan oleh Komisoner KKR dan jajarannya merupakan konfirmasi telah terjadinya kejahatan tindak pidana korupsi, jika para pelaku hanya diharuskan mengembalikan kerugian keuangan negara tanpa menanggalkan jabatan yang diemban, artinya penegak hukum memberikan peluang kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya. Hal ini karena masih memiliki jabatan dan kewenangan, sehingga berpotensi besar mengulangi perbuatan yang sama.

“Permisifnya Kabid Propam Polda Aceh pada kasus ini, berpotensi besar menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi di Aceh,” ucap Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri.

Raihal menyampaikan jika Kabid Propam Polda Aceh ikut membiarkan tindakan penyidik menghentikan kasus korupsi seperti ini, maka ke depan penyidik akan secara ugal-ugalan menggunakan nota kesepahaman di atas pada kasus korupsi, dan pelaku-pelaku korupsi yang lain juga akan melakukan pembenaran dan rasionalisasi terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan.

“Jika ketahuan, cukup mengembalikan uang, dan kasus diangap selesai,” ucapnya.[KBA]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *