DITERPA ISU TAK SEDAP, FORUM PRB MEMBISU

DITERPA ISU TAK SEDAP, FORUM PRB MEMBISU

Bidikindonesia | Banda Aceh – Pemilihan ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Aceh telah berlangsung, namun menyisakan berbagai pertanyaan publik kenapa lembaga yang didominasi oleh para relawan kemanusiaan tersebut membisu di satu sisi.

Di sisi lain, dari beberapa informasi media sosial berhembus berita para pelaku kegiatan sosial kemanusiaan tersebut terpecah paska pemilihan ketua.

Kebisuan dan perpecahan diawali dari adanya diskusi-diskusi miring terkait proses yang sejak awal tidak transparan khususnya terkait tim penjaringan anggota forum PRB Aceh 2022.

Beranjak dari kerisauan sosial tersebut, media ini mencoba melacak apa sebenarnya yang terjadi dan apa yang menjadi bahasan ini boleh jadi merupakan liputan awal yang mungkin akan ditindaklanjuti.

Bacaan Lainnya

Tim Penjaringan
Berdasarkan informasi diperoleh oleh media ini, Surat Keputusan (SK) tim tersebut ditandatangani oleh Kalak Badan Penanggulangan Bencana Aceh Nomor 360.05/057/SK/VIII/BPBA/2022 Tanggal 08 Agustus 2022/10 Muharram 1444 H.

Tim penjaringan tersebut diketuai oleh Teuku Alvisyahrin, Ph.D dari unsur akademisi/pakar dan Sekretaris Risma Sunarty S.Si, M.Si/Dewan Pakar Forum PRB Aceh.

Sementara empat anggotanya adalah Fahmi Rizal/Pengurus Forum PRB Aceh, Faisal Ilyas, SE, M.Si/unsur dunia usaha, Saifullah ST/unsur pers, dan Muhammad Hasan/unsur LSM.

Menurut berita beredar proses pemilihan berlangsung dengan baik. Calon ketua ada dua yaitu TM Zulfikar dan Muhammad Hasan Dibangka.

Namun aroma perpecahan mencuat kepermukaan ketika salah satu kubu, baru mengetahui bahwa pemenang merupakan salah seorang anggota tim penjaringan yang dalam SK penjaringan berinisial MH.

Sementara itu tim TM Zulfikar mengatakan bahwa kami benar-benar tertipu. Masa kita bersaing dengan anggota tim KPU analoginya.

Ini sangat tidak benar dan melanggar norma-norma berlaku, ujar sumber tersebut. Yang seharusnya menjaga independensi tim penjaringan yang SKnya dari Kalak BPBA.

Kalau saja kami tahu sebelumnya bahwa MH juga mencalonkan diri tentunya kami akan protes keras sebelum pemilihan. Masalahnya kami tidak tahu karena tidak pernah menerima SK tim penjaringan tersebut.

Berkaitan dengan informasi ketidakterbukaan SK penjaringan dimaksud, media ini mencoba mengkonfirmasi ke Ketua Tim Teuku Alvisyahrin, Ph.D. Namun beliau enggan diliput media.

Media ini mencoba mencari tahu lebih lanjut semoga ada titik terang terkait pemilihan ketua forum PRB yang diduga mengangkangi norma-norma etika yang seharusnya dihormati, apalagi oleh relawan kemanusiaan.

Bukan Musyawarah.

Zainal, salah seorang anggota musyawarah mengaku kecewa dengan prosesnya yang sama sekali tidak mencerminkan musyawarah sebagai mufakat sesuai pergub. “Semuanya terkesan diburu-buru tanpa mendengar dan menerima masukan dari seluruh anggota musyawarah, jika memang dari awal ini diseting untuk voting dan suara terbanyak lebih baik tidak usah dibuat acara khusus seperti ini, tinggal masing masing lembaga mengirim surat dukungannya ke tim pelaksana, main suara terbanyak saja.

Hal ini juga dibenarkan oleh anggota musyawarah lain, ini seperti kongres ormas, banyak sekali kerancuan dalam prosesnya.

Zainal juga menambahkan paling sedikit ada 5 alasan kenapa Musyawarah ini terkesan dipaksakan dan buru-buru selain hal-hal teknis seperti tempat, pelayanan bahan dan alat musyawarah yaitu:
1. Pembentukan Tim penjaringan harusnya dilakukan secara terbuka, Pemerintah membuka informasi dan menerima pendaftaran para pegiat bencana dari unsur-unsur yang diperlukan secara umum, sehingga akan ada banyak alternatif orang yang bisa terlibat penuh, independen dan mewakili unsur yang tepat.

2. Tim penjaringan membuka waktu yang sangat sempit untuk menerima calon anggota forum, sehingga banyak organisasi, lembaga, bahkan jika mengacu kepada pentahelix, para dunia usaha, filantropi, akademisi dan media juga harus dilibatkan menjadi anggota forum. yang terjadi kemarin hampir tidak ada unsur dunia usaha yang hadir, sedikit media, dan sangat sedikit unsur akademisi dan pemerintah, padahal berapa banyak perguruan tinggi di Aceh, berapa banyak SKPA/SKPD dan instansi vertikal  yang bertanggung jawab dalam bencana. Jikapun tidak mendaftar, harusnya unsur-unsur ini otomatis diundang menjadi calon anggota karena tupoksinya.

3. Hasil seleksi tim penjaringan tidak dipublikasikan berikut validasinya, ada beberapa syarat calon anggota forum yang harusnya bisa menjadi instrumen penting untuk dikumpulkan saat itu sebagai alasan sebuah organisasi dapat diterima menjadi calon anggota forum, seperti bukti legalitas yang tidak diperiksa, foto plang nama kantor/visitasi sekretariat organisasi baik offline atau virtual dan wilayah kerja organisasi. Jika 3 indikator ini tidak divalidasi artinya sebenarnya ada beberapa organisasi yang tidak mempunyai hak suara dalam musyawarah. sebaliknya, jika ini menjadi patokan wajibnya, akan ada banyak sekali organisasi, filantropi, bahkan lembaga yang memang selama ini aktif dalam kegiatan dan isu pengurangan risiko bencana yang otomatis bisa langsung menjadi anggota forum tanpa harus perlu dibuktikan secara administratif seperti itu.

4. Pemilihan panitia sidang yang tidak berlandaskan musyawarah, para pimpinan sidang yang terpilih dipilih karena ada 2-3 orang yang menyebutkan nama yang bersangkutan untuk memimpin sidang, harusnya ada musyawarah kenapa orang-orang ini dipercayakan memimpin sidang pemilihan dan alasannya, termasuk menerima masukan dari mayoritas peserta yang mungkin belum sempat menyampaikan pendapatnya.

5. Pemimpin sidang juga sangat terburu-buru memutuskan syarat calon dan pemilihan, seperti mengejar waktu, ada poin-poin dimana belum terselesaikan untuk dibahas namun langsung ditutup dengan voting atau di “ketok palu”, termasuk dengan memutuskan perubahan/pembuatan statuta berdasarkan sebagian kecil suara anggota musyawarah. Menariknya sangking cepatnya, semua balon yang diajukan oleh para anggota musyawarah tidak diperiksa profilnya sesuai syarat-syarat balon yang “telah” mereka sepakati.

*Terkait dengan SK tersebut Teuku Alvisyahrim mengatakan, Memohon maaf, saya tidak dapat memberi komentar  saya sudah memberikan klarifikasi secara internal (via WA group) kepada pihak-pihak yang terkait langsung dengan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kita bersama-sama tetap dapat menjaga kekompakan dan sinergi yang sangat dibutuhkan untuk melanjutkan dan memperkuat upaya-upaya pengurangan risiko bencana di Aceh.

Sekali lagi, barakallaahu fiik dan terimakasih atas pengertian dan silaturrahminya.

Pos terkait