BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Pemerhati Politik Aceh, Usman Lamreung, meminta agar Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, serius membangun komunikasi politik dengan DPR Aceh agar APBA 2024 bisa segera dieksekusi. “Gara-gara itu DIPA belum ditandatangani, semua instrumen politik dan ekonomi jadi terganggu,” kata Usman Lamreung.
Bila ini terus berkepanjangan, jelas Usman Lamreung kepada KBA, Kamis 29 Februari 2024, rakyat Aceh sudah sepatutnya menggulirkan mosi tidak percaya kepada dua lembaga politik di Aceh tersebut. “Atau bila tidak mampu membangun komunikasi dengan DPRA, sebaiknya Pj Gubernur mundur saja dari jabatannya,” tegas doktor ilmu politik ini.
Menurut Usman, solusi untuk mengendalikan ketidakstabilan ekonomi dan harga sembako di Aceh, salah satunya adalah APBA harus segera dijalankan. Namun hingga akhir Februari, kata dia, belum ada titik temu antara Pemerintah Aceh dengan DPRA sehingga DIPA belum juga ditandatangani. “Jika sampai Maret 2024, atau memasuki bulan puasa Ramadan 1445-H belum selesai juga, sudah pasti harga bahan pokok melambung tinggi. Rakyat lagi yang akan menanggung risikonya,” ujar Usman.
Usman memastikan bahwa Pemerintah Aceh hingga kini belum bisa mengunakan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2024 yang sudah disepakati dengan DPRA sekitar Rp 11,7 triliun pada 18 Desember 2023 karena pihak legislatif menolak menandatangani Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Belum ditandatanganinya DIPA itu, lanjut Usman, diduga kuat adanya anggaran pokok pokok pikiran (Pokir) anggota dewan yang dianggap muncul secara siluman. Semula, Pokir dewan angkanya sebesar Rp800 miliar, kemudian muncul Rp400 miliar lagi, hingga keseluruhan anggaran pokir menjadi Rp1,2 triliun seperti yang pernah dilansir di berbagai media.
Terlepas apapun alasan dan hubungan komunikasi politik dua lembaga politik di Aceh itu, kata Usman, telah menyebabkan hak-hak rakyat Aceh dirugikan. Perdebatan dan kisruh dua lembaga politik di Aceh itu akibat tata kelola pemerintahan Aceh yang tidak beres. Hubungan Pj Gubernur Aceh dengan Sekda Aceh yang tidak baik-baik saja adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadi kisruk pemerintah Aceh dan DPR-Aceh.
Menurut Usman, Isu hubungan Pj Gubernur Aceh dan Sekda Aceh sudah menjadi rahasia umum. Ini menandakan bahwa tata kelola pemerintah Aceh buruk. “Bila internal komunikasi tidak berjalan dengan baik bagaimana mungkin komunikasi politik dengan DPR-Aceh berjalan baik?” katanya.
Usman juga menyinggung soal dana PON Aceh-Sumut yang sebagian diplotkan di APBA. Dalam konteks ini, Usman mengaku tidak sepakat bila pemerintah Aceh tetap mengalokasikan anggaran dalam kegiatan PON XXI Aceh-Sumut 2024 lewat anggaran otsus. Sebab, dana Otsus adalah bagian dari perdamaian untuk kesejahteraan ekonomi rakyat Aceh. “Jangan mengingkari apa yang menjadi hak rakyat Aceh. Peruntukan dana otsus itu sudah jelas dijabarkan dalam UUPA,” katanya.
Begitu juga dengan dana Pokir. “Apakah dengan dana pokir yang begitu besar dan juga mengabaikan RPJM bisa tepat sasaran?” tanya Usman.
Menurut Usman, Pokir bisa saja kelak akan bermasalah dengan indikasi korupsi karena banyak program yang diduga tidak tepat sasaran. Bahkan, katanya, dengan dana pokir itu seakan DPRA sudah menjadi bagian dari eksekutif karena anggarannya dititip di anggaran dinas-dinas (SKPA) dan “dikelola” secara diam-diam oleh tim pemilik pokir. Padahal dewan sudah jelas tugas dan fungsinya.
Usman berharap kisruh Pemeritah Aceh dan DPRA sudah harus segera dihentikan demi kepentingan dan keberlanjutan pembangunan Aceh. Pj Gubernur Aceh dan DPRA harus duduk bersama untuk mencari solusinya, bukan saling klaim di media. “Pj Gubernur dan DPRA harus melihat kepentingan rakyat Aceh secara keseluruhan, jangan cuma mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja,” tutup Usman Lamreueng.[KBA]