Diduga Dampak Land Clearing Perusahaan Sawit, Sungai Singgersing di Subulussalam Tercemar

Diduga Dampak Land Clearing Perusahaan Sawit, Sungai Singgersing di Subulussalam Tercemar

BANDA ACEH, BidikIndonesia.com Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Aceh mendapat laporan Sungai Singgersing di Kecamatan Sultan Daulat, Subulussalam, tercemar potongan kayu yang hanyut dari hulu dan air keruh bercampur lumpur.

Direktur Walhi Aceh Ahmad Salihin menduga pencemaran terjadi akibat aktivitas land clearing–proses pembersihan hingga penyiapan lahan untuk digunakan kembali–perusahaan sawit.

“Informasi yang kami peroleh, kejadiannya baru dalam dua bulan terakhir akibat land clearing perusahaan sawit yang sedang membuka lahan di sana,” ungkap Ahmad Salihin alias Om Sol, Selasa, 21 Mei 2024.

Pencemaran itu, kata dia, mengancam keselamatan pemukim di bantaran sungai dan berdampak pada sejumlah nelayan. “Warga di sana tidak dapat lagi memasang bubu atau jaring untuk menangkap ikan karena adanya bongkahan kayu yang hanyut dari hulu. Hal ini tentu merugikan masyarkat sekitar,” ujarnya.

Dampak lain yang dirasakan warga selama proses land clearing, tambah Om Sol, air sungai kerap meluap dan membuat rumah-rumah warga terendam air. “Termasuk banyak lumpur yang menimbun kebun warga dan menyebabkan gagal panen.”

Bacaan Lainnya

Dari pantauan tim Geographic Information System atau GIS Walhi Aceh, ditemukan pembukaan lahan di sekitar sungai sejak Januari hingga April 2024, menyebabkan hilangnya tutupan hutan hingga 1.767,35 hektare. Dari luasan ini, sekitar 26 hektare masuk ke dalam hutan lindung. Dibandingkan pada 2023 lalu, kondisi tutupan hutan masih bagus.

“Temuan data oleh Tim GIS ini sudah sangat jelas, tercemar Sungai Singgersing itu selama proses land clearing perkebunan sawit yang ada di sana, karena sebelumnya tidak ada temuan seperti itu di sana,” tegas Om Sol.

Perangkat Gampong Singgersing pernah melaporkan dugaan pencemaran sungai itu kepada Penjabat Wali Kota dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Subulussalam. Laporan disampaikan melalui surat resmi pada 8 Mei 2024 lalu.

Surat ditandatangani oleh Kepala Desa Singgersing, Kepala Mukim Batu-Batu dan sejumlah tokoh masyarakat. Surat itu juga ditembuskan kepada Camat Sultan Daulat, Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah VI Subulussalam, Dewan Perwakilan Rakyat Kota, Kejaksaan Negeri, Kapolres, Dinas Perkebunan Kota Subulussalam, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh.

“Sepengetahuan kami hingga sekarang belum ada tindak lanjut penyelesaiannya, pencemaran sungai tersebut masih saja terjadi,” ujar Om Sol.

Objek Wisata Ikut Terancam

Dampak land clearing perusahaan sawit di Kecamatan Sultan Daulat, tidak hanya berpengaruh pada kualitas sungai, tetapi juga mengancam areal objek wisata Silangit-Langit. Sebelumnya, setiap hari libur objek wisata tersebut dipenuhi pengunjung, tapi sekarang mulai sepi.

“Padahal itu objek wisata andalan di Kota Subulussalam yang dapat mendongkrak perekonomian warga,” ucap Om Sol.

Walhi Aceh meminta aparat penegak hukum dan Pemerintah Kota Subulussalam segera menerjunkan tim untuk memeriksa aktivitas land clearing perusahaan sawit yang beroperasi di sana. “Sehingga keberadaan perkebunan sawit tidak merugikan pihak lain, termasuk merusak ekosistem yang seharusnya dilindungi, terutama objek wisata. Jangan demi pengusaha sawit, merusak ekosistem dan juga mengorbankan perekonomian warga,” ujar Om Sol.

Di sisi lain, Walhi juga mencatat, Sultan Daulat menjadi kawasan yang paling tinggi kehilangan tutupan hutan dibandingkan kecamatan lain di Subulussalam sejak 2015 hingga 2022. Kurun waktu delapan tahun terakhir, ada 3.763 hektare lebih hutan gundul. Artinya, kata Om Sol, 47 persen dari total kehilangan tutupan hutan di Subulussalam seluas 7.046 hektare, terjadi di Sultan Daulat.

Sementara Kecamatan Simpang Kiri kehilangan tutupan hutan selama delapan tahun terakhir seluas 1.174 hektare, Rundeng 859 hektare, Penanggalan 649 hektare dan Longkib 601 hektare. “Data ini belum dihitung kerusakan pada 2023 lalu, diperkirakan kalau dimasukkan hingga April 2024 ini luasannya lebih besar.”

Walhi Aceh menilai situasi tersebut sangat mendesak untuk segera diatasi sebelum terlambat, karena dapat memicu kerusakan terhadap berbagai ekosistem yang ada di sana. “Selain itu juga berpotensi terjadinya konflik sosial antara warga dengan perusahaan sawit yang sedang melakukan pembersihan lahan.[KBA]