OPINI: Aceh Seuramoe Mekkah: Harmonisasi Tradisi Peradaban, Syariat, dan Lingkungan Oleh Adhifatra Agussalim

OPINI: Aceh Seuramoe Mekkah: Harmonisasi Tradisi Peradaban, Syariat, dan Lingkungan Oleh Adhifatra Agussalim

ACEH UTARA,Samudera Pasai, bidikindonesia.com,

Mukaddimah

Bismillahhirrahmanirrahim, Alhamdulillah cukup menarik materi yang disampaikan oleh Kang Yoyogasmana dengan judul paparan Kasepuhan Ciptagelar – Menjalankan Titipan tradisi Leluhur sejak 1368 mengambil pendekatan Energi Air, Ketahanan Pangan Padi 640 Tahun dengan Swasembada Energi Mikro – Hidropower pada kegiatan Short Course Certified of Environmental Management Leadership (C.EML) Batch 3  Dengan Tema Swasembada Energi dan Pangan Yang Berkelanjutan serta Ramah Lingkungan pada hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2024.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut memicu penulis untuk bisa berkontribusi dalam mempersiapkan opini dibidang pemabahasan tersebut khususnya dari asal kami di Nanggroe Aceh Darussalam. Kami coba mengangkat esensi budaya serta lingkungan yang mempengaruhi semua lini kehidupan Masyarakat Aceh khususnya dan negara Indonesia pada umumnya. Budaya dan lingkungan merupakan dua elemen yang saling berkaitan erat dan mempengaruhi satu sama lain sepanjang sejarah peradaban manusia. Budaya mencerminkan cara manusia hidup, berpikir, dan bertindak dalam lingkungan tertentu. Sebaliknya, lingkungan memberikan batasan, peluang, dan tantangan yang memengaruhi perkembangan budaya suatu masyarakat. Hubungan ini terus berkembang seiring kemajuan peradaban, menciptakan dinamika yang kompleks antara manusia, kebiasaan, dan alam. Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam.
Budaya Aceh mencerminkan perpaduan unik antara tradisi lokal, nilai-nilai Islam, dan pengaruh sejarah dari berbagai peradaban yang pernah bersentuhan dengan wilayah ini. Dengan akar yang kuat dalam keislaman, budaya Aceh mencerminkan harmoni antara manusia, agama, dan lingkungan yang terus berkembang seiring waktu. Aceh juga memiliki sejarah panjang interaksi budaya dengan lingkungan yang dipengaruhi oleh dinamika peradaban. Kekayaan budaya Aceh tidak dapat dilepaskan dari kondisi geografisnya yang strategis, terletak di ujung barat Indonesia dan menghadap ke Selat Malaka. Lingkungan alam yang kaya, seperti laut, hutan, dan sungai, telah membentuk karakter masyarakat Aceh sekaligus menjadi fondasi bagi perkembangan budaya dan peradabannya. Allahumma shalli alaa Muhammadin ‘abdika warasulika nabiyyil ummi wa’alaa aalihii wa sallim.

Identitas Budaya Aceh yang Berlandaskan Islam
Islam menjadi elemen sentral dalam budaya Aceh. Nilai-nilai Islam tidak hanya menjadi pedoman hidup, tetapi juga terintegrasi dalam berbagai aspek budaya, seperti adat istiadat, seni, dan hukum. Prinsip “adat bak po teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” menggambarkan bagaimana adat istiadat Aceh berjalan berdampingan dengan syariat Islam, menciptakan sistem sosial yang harmonis.
Tradisi seperti peusijuek (ritual tepung tawar) mencerminkan penghormatan kepada Allah SWT dan permohonan keberkahan dalam setiap peristiwa penting, seperti pernikahan, pembangunan rumah, atau kelahiran. Dalam seni, kesenian seperti seudati, rapa’i, dan rateb meuseukat membawa pesan-pesan religius yang mengajarkan nilai-nilai keislaman melalui gerak dan lantunan syair.
Aceh terdiri dari berbagai suku, seperti Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, dan Simeulue, yang masing-masing memiliki tradisi khas. Keberagaman ini memperkaya budaya Aceh dengan warisan lokal yang unik. Masyarakat Gayo, misalnya, memiliki seni didong, yakni perpaduan puisi, lagu, dan tarian yang sering digunakan untuk menceritakan kisah atau menyampaikan pesan moral. Di Simeulue, tradisi smong (kearifan lokal tentang tsunami) diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk perlindungan terhadap bencana alam. Di gampong-gampong (sebutan untuk perdesaan), tradisi meuripee (gotong royong) menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Nilai kebersamaan dan saling tolong-menolong ini tidak hanya mencerminkan solidaritas sosial, tetapi juga memperkuat hubungan manusia dengan lingkungan.

Seni Kuliner dan Pakaian Tradisional
Budaya Aceh juga tercermin dalam seni kuliner dan pakaian tradisional. Kuliner Aceh terkenal dengan cita rasanya yang kaya rempah, seperti pada hidangan kari kambing, mie Aceh, dan kuah pliek u. Makanan-makanan ini tidak hanya mencerminkan kekayaan sumber daya alam Aceh, tetapi juga pengaruh sejarah perdagangan rempah-rempah dengan dunia luar. Dalam hal pakaian, baju adat Aceh seperti bajeu meukasah untuk pria dan bajeu kurung untuk wanita mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan keindahan. Pakaian ini sering dihiasi dengan sulaman emas dan motif tradisional yang memiliki makna simbolis.

Bacaan Lainnya
banner 300250

Pengaruh Sejarah dan Globalisasi
Sejarah Aceh sebagai salah satu pusat peradaban di Asia Tenggara meninggalkan jejak yang mendalam dalam budaya masyarakatnya. Sebagai salah satu pintu masuk Islam di Nusantara, Aceh memainkan peran penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di wilayah ini. Hubungan dagang dengan bangsa Arab, Cina, Eropa dan Hindustan membawa pengaruh budaya yang memperkaya tradisi lokal Aceh. Namun, di era modern, globalisasi membawa tantangan baru bagi pelestarian budaya Aceh. Masuknya budaya asing melalui media dan teknologi mengancam beberapa tradisi lokal yang mulai terpinggirkan. Oleh karena itu, upaya revitalisasi budaya, seperti festival budaya Aceh dan pengajaran adat di dayah (pondok pesantren), madrasah (sekolah-sekolah), menjadi sangat penting untuk mempertahankan identitas Aceh.

Lingkungan Aceh sebagai Inspirasi Budaya
Sejak dahulu, masyarakat Aceh hidup berdampingan dengan alam dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya. Laut, misalnya, memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat pesisir. Tradisi nelayan Aceh, seperti khanduri laoet (syukuran laut), adalah wujud penghormatan kepada laut sebagai sumber kehidupan. Khanduri ini juga mencerminkan harmoni antara manusia dan lingkungan, sekaligus mengajarkan nilai-nilai religius dan kebersamaan dalam masyarakat. Di pedalaman, hutan dan pegunungan menjadi penopang kehidupan masyarakat agraris Aceh. Sistem pertanian tradisional seperti tengku jahò (ladang berpindah) menunjukkan kearifan lokal masyarakat Aceh dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Pengelolaan air untuk sawah melalui sistem irigasi tradisional yang disebut keujreun blang juga mencerminkan bagaimana budaya Aceh menyesuaikan diri dengan kondisi geografisnya.

Pengaruh Peradaban terhadap Budaya dan Lingkungan Aceh
Sejarah panjang Aceh sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam membawa pengaruh besar terhadap hubungan budaya dan lingkungan. Pada masa Kesultanan Aceh, pelabuhan-pelabuhan seperti Banda Aceh dan Sabang menjadi simpul pertemuan berbagai budaya dari Arab, China, dan Eropa dan Hindustan. Perdagangan rempah-rempah seperti lada, yang tumbuh subur di lingkungan tropis Aceh, tidak hanya memperkaya ekonomi, tetapi juga membentuk budaya lokal yang menghargai kelimpahan alam.
Islam, yang menjadi identitas utama masyarakat Aceh, juga memengaruhi cara pandang mereka terhadap lingkungan. Nilai-nilai dalam ajaran Islam seperti menjaga keseimbangan (mizan) dan tidak berlebihan (israf) tercermin dalam praktik budaya masyarakat Aceh. Tradisi seperti peusijuek (tepung tawar) yang sering dilakukan dalam kegiatan penting menunjukkan bagaimana alam dan budaya saling mendukung dalam menciptakan harmoni. Namun, pengaruh peradaban modern membawa tantangan baru bagi hubungan ini. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi sumber daya alam seringkali mengabaikan kearifan lokal, mengancam keseimbangan lingkungan, dan mengikis budaya tradisional. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang masif pasca-tsunami 2004 juga mengubah lanskap lingkungan Aceh, menuntut adaptasi budaya baru.

Interaksi Dinamis Budaya Aceh dan Lingkungan
Budaya Aceh selalu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan peradaban. Misalnya, bencana tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 tidak hanya menghancurkan fisik wilayah ini tetapi juga memengaruhi budaya masyarakatnya. Dalam menghadapi trauma dan kerusakan lingkungan, masyarakat Aceh menghidupkan kembali nilai-nilai lokal seperti meuripee (gotong royong) dan memperkuat tradisi keagamaan sebagai cara bertahan dan bangkit.
Selain itu, perubahan iklim global mulai dirasakan di Aceh. Komunitas pesisir menghadapi ancaman kenaikan permukaan air laut, sementara petani di pedalaman harus beradaptasi dengan pola cuaca yang tidak menentu. Dalam konteks ini, revitalisasi budaya lokal yang ramah lingkungan menjadi semakin penting. Tradisi seperti Uteun Adat (Hutan Larangan Adat) dan pengelolaan sumber daya berbasis mukim menawarkan solusi lokal yang relevan untuk menjaga keseimbangan antara budaya, lingkungan, dan peradaban.
Kearifan lokal masyarakat Aceh mencerminkan hubungan yang erat antara budaya dan lingkungan. Tradisi seperti khandurie laoet (syukuran laut) menunjukkan rasa syukur masyarakat pesisir kepada Allah SWT atas hasil laut yang melimpah. Selain itu, sistem adat seperti Uteun Adat (Hutan Larangan Adat) dan pengelolaan sawah berbasis komunitas melalui keujreun blang (Komunitas Tradisioanl Urusan Pertanian) menunjukkan bagaimana budaya Aceh menjaga keberlanjutan lingkungan.
Pasca-tsunami 2004, masyarakat Aceh juga menunjukkan kemampuan luar biasa untuk bangkit dan membangun kembali kehidupan mereka dengan memadukan tradisi lokal dan bantuan global. Peristiwa ini memperkuat nilai gotong royong dan ketabahan yang menjadi ciri khas budaya Aceh.

Budaya sebagai Respons terhadap Lingkungan
Pada awal peradaban, manusia sangat bergantung pada lingkungan alam. Cara hidup nomaden masyarakat pemburu-pengumpul misalnya, terbentuk karena mereka harus berpindah-pindah untuk mencari sumber makanan. Ketika manusia mulai bercocok tanam, budaya agraris pun berkembang, menyesuaikan dengan kondisi tanah, iklim, dan ketersediaan air. Ritual-ritual seperti upacara meminta hujan atau syukuran panen mencerminkan bagaimana manusia menghormati alam sebagai sumber kehidupan mereka.
Keberadaan sungai besar di Aceh seperti Krueng (Sungai) Daroy di Banda Aceh cikal bakal Kesultanan Aceh Darussalam, Krueng Pase di Kabupaten Aceh Utara juga menjadi hilir sungai bagi Kesultanan Samudera Pase, Krueng Peureulak di Kabupaten Aceh Timur juga menjadi cikal bakal Kesultanan Peurerulak, mendorong lahirnya budaya peradaban besar yang mengandalkan irigasi. Pemanfaatan lingkungan secara terorganisasi melahirkan sistem sosial dan teknologi, seperti kalender untuk menentukan waktu tanam dan panen. Dengan demikian, budaya dapat dilihat sebagai adaptasi kreatif manusia terhadap lingkungan.

Pengaruh Peradaban terhadap Lingkungan
Seiring berkembangnya teknologi dan peradaban, hubungan antara budaya dan lingkungan mengalami pergeseran. Pada era Revolusi Industri, manusia mulai mengeksploitasi sumber daya alam secara masif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pembangunan. Budaya konsumtif yang lahir dari peradaban modern menyebabkan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, dan perubahan iklim.
Namun, peradaban juga menciptakan budaya baru yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Gerakan pelestarian lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan dan pengelolaan sampah berbasis daur ulang, menunjukkan bahwa peradaban modern mampu menciptakan budaya yang mendukung keseimbangan alam. Bahkan, budaya tradisional masyarakat adat yang mengutamakan harmoni dengan alam kini kembali menjadi inspirasi bagi solusi global terhadap krisis lingkungan.

Interaksi Dinamis antara Budaya, Lingkungan, dan Peradaban
Interaksi antara budaya, lingkungan, dan peradaban selalu bersifat dinamis. Di satu sisi, budaya manusia dipengaruhi oleh kondisi geografis dan ekologi tempat mereka tinggal. Di sisi lain, manusia dengan peradabannya dapat mengubah atau bahkan menciptakan lingkungan baru. Contoh nyata adalah pembangunan kota-kota metropolitan yang mengubah bentang alam menjadi area urban. Hal ini menuntut manusia menciptakan budaya perkotaan yang mengatasi tantangan lingkungan baru, seperti polusi udara dan manajemen limbah.
Selain itu, perubahan iklim akibat ulah manusia juga mulai memengaruhi kembali budaya dan peradaban. Masyarakat pesisir, misalnya, harus mengubah cara hidup mereka akibat naiknya permukaan air laut. Fenomena ini menunjukkan bahwa hubungan budaya dengan lingkungan tidak pernah berhenti berkembang dan terus saling memengaruhi.

Kesimpulan
Hubungan budaya Aceh dengan lingkungan menjadi cerminan dari kemampuan masyarakatnya untuk beradaptasi dengan tantangan alam dan peradaban. Lingkungan yang kaya memberikan inspirasi bagi budaya Aceh, sementara nilai-nilai Islam dan pengaruh peradaban modern membentuk cara masyarakatnya memandang dan memanfaatkan alam. Di tengah tantangan global, Aceh memiliki potensi besar untuk memadukan kearifan lokal dengan inovasi modern demi menciptakan harmoni antara budaya dan lingkungan. Hal ini tidak hanya penting bagi keberlanjutan Aceh, tetapi juga menjadi kontribusi berharga bagi peradaban dunia.
Budaya dan lingkungan juga yang dipengaruhi oleh peradaban adalah cerminan dari perjalanan panjang manusia dalam memahami dan mengelola dunia tempat mereka hidup. Peradaban memberikan kemampuan bagi manusia untuk mengolah lingkungan, tetapi juga membawa tanggung jawab untuk melestarikannya. Dalam konteks global saat ini, upaya menciptakan budaya keberlanjutan adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara peradaban dan alam. Harmonisasi antara budaya, lingkungan, dan peradaban Islam tidak hanya menjadi warisan, tetapi juga kunci bagi kelangsungan hidup generasi mendatang.
Budaya Aceh merupakan cerminan dari kekayaan sejarah, nilai-nilai Islam, dan kearifan lokal yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia, agama, dan alam. Di tengah arus modernisasi, budaya Aceh menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan dan lestari. Namun, dengan upaya pelestarian dan penguatan identitas budaya, Aceh dapat terus menjadi contoh bagaimana tradisi dan nilai religius mampu bertahan sekaligus beradaptasi dengan perubahan zaman. Budaya Aceh bukan hanya warisan, tetapi juga aset berharga bagi peradaban Indonesia dan dunia.

Oleh:

Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM

Praktisi Internal Auditor, aktif sebagai Sekretaris DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, dan sebagai Kaperwil pada media filesatu.co.id, telah memiliki Certified Audit SMK3 Professional (CASP), Certified Professional Audit Manager (CPAM), Certified Internal Auditor Professional Advance (CIAPA), Certified Ilmu Philosophy (CIP), Sertifikat Kompetensi UKW Wartawan Muda dan juga tergabung sebagai Member of The Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia, Associate member Institute of Compliance Professional Indonesia (ICOPI), Member of Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan aktif dibeberapa komunitas penulis seperti Rumah Produktif Indonesia (RPI) dan juga Komuniti Antologi Secawan Kopi Selangor Darul Ehsan, Malaysia, serta Bengkel Narasi Dili, Timor Leste.